Jangan Asal, Cerdaslah Dalam Memilih Pemimpin
Presiden Jokowi menyampaikan pidato pada puncak acara Musyawarah Rakyat (Musra) di Istora Senayan, Jakarta pada 14 Mei 2023. (Antara/Hafidz Mubarak A./nym)

Bagikan:

JAKARTA – Masyarakat harus lebih kritis dalam memilih figur-figur yang akan ikut berkontestasi dalam Pemilu 2024, terutama dalam pemilihan presiden. Pilihlah pemimpin yang memiliki gagasan konkret dan rekam jejak yang jelas. Mampu mengelola pemerintahan secara benar dan sesuai konstitusi.

Juga, pemimpin berjiwa visioner yang mampu mengantisipasi bukan hanya perkembangan dalam negeri, tetapi juga persoalan-persoalan internasioal, seperti geopolitik dan perubahan ekonomi global. Sebab, tak dapat dipungkiri, kondisi dunia saat ini tengah dalam ketidakpastian. Krisis ekonomi, energi, dan pangan terus mengancam.

Bila pemimpin tidak memiliki visi yang jelas untuk menjadikan Indonesia menjadi negara maju, maka bangsa akan terpuruk.

“Jangan sampai rakyat terjebak dengan retorika dan janji-janji. Karena itu, rakyat harus cerdas dalam memilih pemimpin. Lihat prestasinya, kemampuannya, integritasnya, dan komunikasinya kepada publik,” kata Antonius Benny Susetyo, pakar komunikasi politik dari Universitas Sahid, Jakarta dalam keterangannya yang diterima VOI pada 15 Mei 2023.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat acara Musyawarah Rakyat (Musra) di Istora Senayan pada 14 Mei 2023 pun mengingatkan agar rakyat selektif memilih pemimpin.

Rakyat harus cerdas dalam memilih pemimpin dalam Pemilu 2024. (VOI/Irfan Meidianto)

Indonesia adalah bangsa besar dengan jumlah penduduk sekitar 288 juta jiwa. Terbesar keempat di dunia. Serta, negara yang kaya sumber daya alam. Bukan hanya tambang dan bahan mineral, melainkan juga kekayaan laut, pertanian, dan perkebunan.

Keunggulan lain, Indonesia pun mendapat bonus demografi, ketika jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dalam kurun waktu 13 tahun ke depan. Para pakar dalam dan luar negeri, menurut Jokowi, meyakini inilah kesempatan besar Indonesia menjadi negara maju.

Sehingga, pemimpin selanjutnya harus memahami cara memajukan Indonesia dengan memanfaatkan peluang dan sumber daya yang tersedia.

“Begitu kita keliru, memilih pemimpin yang tepat untuk 13 tahun ke depan, hilanglah kesempatan untuk menjadi negara maju. Hati-hati mengenai ini,” ucap Jokowi.

“Kesempatan tidak muncul dua kali dalam sejarah peradaban negara. di Amerika Latin tahun 50an, 60an dan 70an mereka sudah berada di posisi negara berkembang middle income. Tetapi sudah 50 tahun mereka tetap menjadi negara berkembang. Karena apa? Karena tidak bisa memanfaatkan peluang saat itu. Dan mengejarnya lagi sudah tidak ada kesempatan lagi,” sambung Jokowi.

Tak ayal, sudah menjadi syarat mutlak, pemimpin Indonesia haruslah figur yang tepat. Dekat dengan rakyat, memahami hati rakyat, dan mau bekerja keras untuk rakyat.

“Bukan sekadar rutinitas, hanya duduk di istana dan tanda tangan. Harus tahu membangun strategi negara, strategi politik. Karena kita berhadapan dengan negara lain, bersaing dengan negara lain. Rakyat butuh pemimpin yang paham, yang ngerti bagaimana memajukan negara ini,” tutur Jokowi.

Selain itu, tentu butuh keberanian. Tanpa keberanian, Indonesia tidak akan bisa melakukan hilirisasi industri.

“Saat ini saja kita baru digugat oleh Uni Eropa, baru satu urusan saja. Nikel, digugat. Padahal bahan mineral kita bukan hanya nikel. Ada nikel, tembaga, timah, batubara, bauksit. Apakah kita mau berhenti karena digugat Uni Eropa? Belum nanti sumber daya laut, komoditas perkebunan, dan perkebunan juga bukan hanya satu. Ada kopi, kakao dan banyak sekali yang masih bisa jadi potensi dan kekuatan kita,” terang Jokowi.

“Kalau pemimpinnya tidak berani pasti mundur minta ampun. Digugat mundur langsung minta ampun. Nah itu jangan bermimpi negara ini jadi negara maju. Saya nanti akan titip kepada pemimpin berikut, jangan takut digugat oleh negara manapun. Kalau digugat, cari pengacara, cari lawyer yang terbaik agar gugatan kita menang,” Jokowi memberi pesan.

Politik Keadaban

Selain kriteria-kriteria tersebut, hal yang tak kalah penting, menurut Benny, pemimpin juga harus bisa merangkul semua golongan. Menjaga persatuan dan kesatuan di dalam keberagaman. Ini fondasi dalam menjadikan Indonesia menjadi negara besar.

Benny mengatakan, sudah saatnya politik keadaban harus menjadi gagasan.”

Mengutip pernyataan Almarhun Prof. Dr. Azyumardi Azra MA CBE, Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, keadaban politik terkait kesopanan, kesantunan, dan kehalusan budi.

Terkait pula dengan budaya kewargaan, budaya berdasarkan hubungan kesetaraan, saling menghargai, saling menyantuni. Semuanya menjadi adab dan kehalusan budi pekerti dalam menghadapi perbedaan.

Dewasa ini, berbagai bentuk ketidakadaban politik memenuhi ruang publik, seperti minim etika, perilaku tidak demokratis, sampai pada arogansi di kalangan elite politik.

Tengok perilaku para elite politik yang saling serang dan sindir, lalu hujatan-hujatan masyarakat terkait politik di media sosial. Ini bukanlah cermin jati diri masyarakat Indonesia.

Staf khusus dewan pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo. (Istimewa)

Contoh lain terlihat juga dari pembentukan koalisi. Menurut Benny, ini memang hal lumrah dan diperbolehkan. Namun kesan yang tercipta hanya mengenai kekuasaan.

Itulah mengapa, Benny meminta partai politik dapat menciptakan politik keadaban dan menjadi panglima dalam melaksanakan nilai-nilai Pancasila. Bagaimanapun, politik harus memilki dua dimensi, dimensi manusiawi dan ilahi. Dengan begitu, kekuasaan dapat menjadi wadah untuk menyejahterakan rakyat Indonesia seluruhnya, bukan wadah memperkaya diri atau golongan tertentu saja.

“Rakyat Indonesia harus menegaskan kembali kepada parpol dan elite politik, apa makna berpolitik dan berkekuasaan. Politik adalah sarana untuk menjadi pelayan publik, memperjuangkan kepentingan perjuangan semesta, dan membangun Indonesia menjadi negara maju dan sejahtera,” imbuh Benny yang juga menjabat sebagai staf khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).