JAKARTA – Faktor finansial menjadi alasan utama mengapa banyak penduduk Indonesia, khususnya yang berasal dari kalangan keluarga miskin pedesaan atau daerah kumuh perkotaan dengan tingkat pendidikan rendah memilih bekerja sebagai tenaga kerja migran ke luar negeri.
Mereka meyakini perekonomian keluarga akan membaik karena upah yang diperoleh dari hasil bekerja di luar negeri jauh lebih besar dibanding di Indonesia. Upah pekerja rumah tangga di Malaysia saja bisa mencapai Rp5 juta. Sementara di Indonesia, paling hanya sekitar Rp2 jutaan.
Tak pelak, jumlah Pekerja Migran Indonesia (PMI) tak pernah di bawah 200 ribu jiwa dalam kondisi normal menurut data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Ini yang terdata, jumlah realitasnya diduga jauh lebih dari itu.
Kendati demikian, bukan berarti bekerja di luar negeri lebih nyaman. Hidup jauh dari keluarga menjadi tantangan tersendiri, belum lagi bila terjerat ulah oknum agen-agen nakal yang terlibat perdagangan orang. Alih-alih menyenangkan, nasib pekerja migran justru semakin sengsara
Tengok kasus Dede Asiah, pekerja migran asal Karawang yang diduga menjadi korban perdagangan orang di Suriah. Awalnya dia diiming-imingi upah Rp9 juta per bulan sebagai asisten rumah tangga di Turki. Namun, begitu mendarat di Istanbul, Dede seperti yang diberitakan BBC malah dibawa ke Suriah oleh perusahaan penyalur.
Dede bekerja bak seorang budak. Dia baru bisa beristirahat jam 2 malam dan bangun jam enam atau tujuh pagi. Upah yang diberikan pun tak sesuai perjanjian.
“Awal terima gaji Rp2,8 juta. Dua bulan kerja gajinya dimakan agen,” ungkap Yongki Hamidun, suami Dede Asiah seperti diberitakan BBC News Indonesia pada 2 April lalu.
Gangguan kesehatan pascaoperasi caesar juga membuatnya tak bisa bekerja maksimal. Sementara, untuk berhenti juga tidak mudah karena pihak majikan sudah membelinya dari pihak penyalur seharga hampir Rp179 juta untuk kerja selama empat tahun. Otomatis, dia harus mematuhi kontrak.
“Majikan saya bilang saya harus kerja di sini empat tahun, karena saya ini mahal," ujar Dede.
Pada 2021, pekerja migran asal Lebak Wangi, Serang, Banten berinisial SH juga mengalami nasib serupa, menjadi korban penipuan agen penyalur nakal. SH awalnya dijanjikan bekerja sebagai rumah tangga, tetapi sesampainya di Dubai, dia malah dijadikan Pekerja Seks Komersial (PSK).
Bukan Perkara Sepele
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD tak menampik praktik-praktik tersebut masih terjadi dan mengancam para pekerja migran Indonesia.
"Gajinya enggak dibayar, orangnya disiksa. Kalau mau pulang dimintain uang dulu dan sebagainya. Alasannya sudah bayar kepada agen yang ngirim. 'Kamu masih punya utang'. Nah ini yang banyak terjadi," kata Mahfud di media center KTT ASEAN ke-42, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 9 Mei lalu.
Bahkan, Mahfud mengaku pernah menyidak sindikat TPPO di kawasan Asia Tenggara. Mereka mengirim korban-korbannya umumnya melalui jalur laut. Melengkapi korban dengan paspor dan surat keterangan yang tidak sesuai.
“Bisa 100-200 orang dalam satu kali pengiriman. (Data) ini saya peroleh dari Bapak Romo Paschalis yang melakukan advokasi yang sangat bagus terhadap korban TPPO,” tambah Mahfud.
Itu bukan perkara sepele. Pada periode-2017-2022, Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) mencatat telah ada 2.356 korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang terlaporkan. Dengan rincian 50,97 persen anak-anak, 46,14 persen perempuan, dan 2,89 persen laki-laki.
Jumlah korban meningkat sekiranya sejak tahun 2019. Dari hanya 226 korban pada 2019 menjadi 422 korban pada 2020, hingga 683 korban pada 2021. Sementara, selama periode Januari-Oktober 2022 sudah ada 401 korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang terlaporkan.
Bahkan tak hanya Indonesia, praktik-praktik perdagangan orang juga sudah menjangkiti seluruh negara di kawasan ASEAN. Bila dibiarkan akan mengancam perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di wilayah. Juga, menghambat proses pembangunan masyarakat.
Kejahatan TPPO merupakan kejahatan serius dan luar biasa menyangkut pada kemanusiaan dan martabat bangsa.
Atas dasar itulah, Presiden Jokowi dalam KTT ASEAN ke-42 mendorong para pemimpin ASEAN mendeklarasikan komitmen bersama memberantas perdagangan manusia. Kejahatan ini harus diberantas tuntas dari hulunya sampai ke hilir.
"Ini penting dan sengaja saya usulkan karena korbannya adalah rakyat ASEAN dan sebagian besar adalah WNI kita," tegas Presiden dalam konferensi pers di Hotel Meruorah, Nusa Tenggara Timur.
Butuh Sinergitas
Alexis A. Aronowitz dalam buku ‘Human Trafficking, Human Misery: The Global Trade in Human Beings’ menjelaskan, perdagangan orang sebagai tindakan perekrutan, pengantaran, pemindahan, penyembunyian dan penerimaan dengan cara-cara ancaman, kekerasan, paksaan, penculikan, penipuan, pembohongan, penyalahgunaan kekuasaan atau mengeksploitasi kelemahan korban.
Tujuannya adalah eksploitasi seksual, pelacuran, kerja paksa atau melayani secara paksa perbudakan atau sejenisnya dan pengambilan organ tubuh manusia.
Indonesia sendiri sebenarnya telah memberikan perhatian serius mengatasi itu, antara lain dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO).
Sebagai implementasinya, sudah terbit pula sejumlah peraturan pengikat lainnya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban TPPO; Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO; dan Peraturan Menteri PPPA Nomor 8 Tahun 2021 tentang Standar Operasional Prosedur Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban TPPO.
Namun memang, memberantasnya tak mudah. Perlu koordinasi, sinergi, dan kerja konkret dari seluruh pemangku kepentingan. Sebab, TPPO merupakan kejahatan yang terencana dan kerap kali melibatkan oknum-oknum dalam institusi pemerintah.
Mahfud dalam Rapat Koordinasi Tingkat Menteri Gugus Tugas PP TPPO pada 28 Desember 2022 mengakui itu. Menurutnya, masih banyak kasus dan jenis-jenis pelanggaran TPPO ditemui di ranah Kementerian Hukum dan HAM, terutama melalui imigrasi dan urusan VISA, “Di mana dengan mudahnya organisasi dan sindikat TPPO memasukkan juga mengeluarkan orang secara ilegal.”
Tentunya, itu harus menjadi perhatian bersama. Sudah saatnya sekarang tak hanya penindakan, melainkan juga fokus ke upaya pencegahan. Harapannya, dengan adanya komitmen bersama dengan negara-negara ASEAN, kasus-kasus perdagangan orang dapat diminimalisasi. Nasib para pekerja migran khususnya yang berasal dari Indonesia dapat lebih terjamin.