Bagikan:

JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berkomitmen siap memberantas praktik-praktik pungutan liar (pungli) secara masif. Ini dibuktikan dengan pembentukan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) pada 21 Oktober 2016.

Bahkan, Jokowi memberi petunjuk kepada Menko Polhukam ketika itu, Wiranto sebagai pengendali Saber Pungli agar pemberantasan pungli tidak hanya terfokus ke pelayanan-pelayanan publik, melainkan juga menyasar ke dalam institusi pemerintahan, termasuk institusi penegakan hukum.

Dalam pertimbangannya, seperti yang tertera dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, Presiden menganggap praktik pungli telah merusak sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu upaya pemberantasan secara tegas, terpadu, efektif, efisien, dan mampu menimbulkan efek jera.

Namun meski penindakan terus berjalan, realitasnya praktik pungli masih ditemukan. Teranyar adalah kasus dugaan pungli yang dialami Husein Ali Rafsanjani (27), guru di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Terjadi ketika dia mengikuti Pelatihan Dasar Calon Pegawai Negeri Sipil (Latsar CPNS) pada 2020.

Kegiatan itu berdasar surat tugas yang diterima, menurut Husein, telah dibiayai oleh negara. Namun, dalam prakteknya tetap ada biaya tambahan yang dibebankan kepada peserta. Panitia kegiatan meminta Rp270.000 sebagai uang transportasi.

"Yang bikin jengkelnya tuh, ikut enggak ikut sama rombongan (harus bayar). Kalau saya kan naik motor, dari Pangandaran ke Bandung. Ada juga kan orang yang enggak bisa ikut karena lagi hamil atau lagi sakit, itu juga disuruh bayar. Makanya, bagi saya jengkel aja gitu," kata Husein dalam video di akun Tiktok-nya @husein_ar yang diunggah 9 Mei 2023.

Bupati Pangandaran Jeje Wiradinata (kanan) dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) tenaga guru Husein Ali Rafsanjani (kiri) saat pertemuan tertutup di Pendopo Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat pada 11 Mei 2023. (Antara/Adeng Bustomi/YU)

Tak hanya itu, panitia juga kembali meminta Rp350.000 saat kegiatan. Husein mengaku keberatan, terlebih ketika itu gajinya sebagai CPNS belum dibayarkan selama tiga bulan.

"Benar-benar belum dibayar, dirapel katanya. Ya, udah. Tapi, kan jadi berat banget," jelas Husein.

Husein bersama sejumlah rekannya kemudian membuat laporan lewat lapor.go.id. Alih-alih mendapat solusi atas laporannya, dia mengaku malah diintimidasi.

“Saya dipanggil menghadap ke kantor BKSDM Pangandaran. Ada 12 orang. Ketika menyampaikan pendapat ada celetukan ‘jangan sok jago’, ‘udah ikutin aja’, jangan banyak nanya’. Akhirnya yang paling kena dihati itu ada ucapan kalau saya ngelaporin website maupun sebagainya, bisa menjelekan nama instansi dan saya diancam dipecat,” tuturnya.

Dia tak gentar, dan malah meminta surat pemecatan itu segera diberikan. Namun, kata Husein, "Setahun saya nunggu surat pemecatan enggak keluar-keluar, saya memutuskan untuk mengundurkan diri saja."

Menyikapi polemik tersebut, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil telah meminta penjelasan lengkap dari kedua belah pihak, baik dari pihak BKSDM Pangandaran maupun Husein.

Dia pun telah menugaskan Inspektorat dan tim Saber Pungli Jawa Barat melakukan penelusuran mendalam dan memberikan rekomendasi untuk menonaktifkan sementara Kepala Badan Kepegawaian Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Pangandaran, Dani Hamdani.

“Nanti kalau terbukti, ada jalur sanksi sesuai perundangan, kalau tidak terbukti direkonsiliasi dengan solusi. Solusinya terserah yang paling nyaman buat semua pihak," ujar Emil di Bandung pada 11 Mei 2023.

Penyebab Pungli

Tak dapat dipungkiri, memberantas pungli memang bukan perkara mudah. Sebab, banyak hal yang membuat praktik pungli tumbuh subur, seperti yang tertulis dalam artikel ‘Pungutan Liar (Pungli) Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi’, Majalah Paraikatte, Edisi Triwulan III, Volume 26, Tahun 2016, yakni:

  1. Adanya ketidakpastian pelayanan sebagai akibat adanya prosedur pelayanan yang panjang dan melelahkan. Sehingga, masyarakat menyerah ketika berhadapan dengan pelayanan publik yang korup.
  2. Penyalahgunaan wewenang. Jabatan atau kewenangan yang ada/melekat pada seseorang.
  3. Faktor ekonomi. Penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup atau tidak sebanding dengan tugas/ jabatan yang diemban membuat seseorang terdorong melakukan pungli.
  4. Faktor kultural dan budaya organisasi, yang terbentuk dan berjalan terus menerus di suatu lembaga agar pungutan liar dan penyuapan, dapat menyebabkan pungutan liar sebagai hal biasa.
  5. Terbatasnya sumber daya manusia.
  6. Lemahnya sistem kontrol dan pengawasan oleh atasan.
Pembentukan Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) pada 2016. Tujuannya, kata Menko Polhukam ketika itu, Wiranto memulihkan kepercayaan publik, memberikan keadilan dan kepastian hukum. (Kominfo)

Saat ini sebetulnya sudah banyak kanal pengaduan yang bisa diakses oleh masyarakat untuk melaporkan perbuatan pungli, mulai dari kanal pengaduan instansi penyelenggara, pengawas internal, pengawas eksternal (Ombudsman dan DPR/DPRD), bahkan dapat juga melaporkan ke Satgas Saber Pungli.

Hanya saja harus ada komitmen setiap laporan yang disertai bukti kuat akan ditindaklanjuti. Juga, harus ada jaminan untuk si pelapor. Tanpa itu, masyarakat atau orang yang mengalami pungli pasti enggan melapor.

Lembaga Survei Indonesia pada 2021 sempat melakukan survei terhadap 1.201 ASN mengenai kemungkinan untuk melapor jika terjadi penyelewengan atau korupsi. Hasilnya, masih ada 23,8 persen yang enggan melapor dengan alasan takut mendapat masalah, proses pelaporan yang berbelit-belit, dan pesimistis laporannya tidak akan ditindaklanjuti.

Pungli dapat diberantas dengan catatan adanya komitmen bersama. Masyarakat juga harus turut ambil bagian sebagai upaya koreksi kinerja para pejabat. Sehingga, komitmen Presiden Jokowi memberantas pungli dapat efektif.