Tragedi ke Tragedi, Janji demi Janji Benahi Penerbangan: Apa yang Diingkari Pemerintah?
Pesawat Sriwijayar Air (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bicara soal jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182 rute Jakarta-Pontianak. Kata Luhut pemerintah akan menjadikan tragedi ini sebagai momentum membenahi hajat penerbangan nasional. Janji yang sering kita dengar setiap kali kecelakaan pesawat terjadi. Padahal ada satu instrumen penting yang luput dan tak juga dipenuhi pemerintah.

Secara spesifik Luhut menyebut pembenahan yang akan dilakukan pemerintah adalah terkait sistem pemeliharaan pesawat. Luhut juga mengapresiasi langkah Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi yang ia sebut gegas merespons tragedi.

"Ini merupakan suatu tragedi, yang menurut saya, kita akan perbaiki terus ke depan, di dalam pemeliharaan pesawat-pesawat kita," katanya dalam acara daring peluncuran Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia 2021, Senin, 11 Januari.

Kita ingat semangat serupa yang diumbar otoritas untuk merespons kecelakaan-kecelakaan pesawat sebelumnya. Tak usah jauh-jauh. Dalam tragedi Lion Air JT-610 Oktober 2018 lalu, sejumlah pemangku kepentingan berkata mirip.

Jusuf Kalla (JK), yang kala itu masih menjabat Wakil Presiden Republik Indonesia mendorong regulator penerbangan berbenah. JK Juga mendesak maskapai penerbangan agar memiliki tanggung jawab yang lebih mumpuni.

“Kita selalu atasi dengan regulasi yang baik. Kedua, dengan, tentu sistem dan juga tanggung jawab perusahaan yang baik,” katanya, 30 Oktober 2018.

Jusuf Kalla (Sumber: Antara)

Bambang Soesatyo, yang waktu itu masih menjabat Ketua DPR juga menekankan narasi serupa. Bamsoet --sapaan Bambang Soesatyo-- mendesak pemerintah memperketat audit dan perizinan penerbangan.

Bamsoet juga mendesak perusahaan penerbangan untuk mengedepankan keselamatan penumpang pesawat. Hal ini membutuhkan peran pemerintah, tentunya, lewat penerapan regulasi dan perizinan terbang yang ketat.

"Terpenting, penerbangan ini betul safe. Pemerintah harus memperketat lagi izin penerbangan, terutama izin terbang. Kalau betul mesin, sebagaimana laporan kemarin ada gangguan tapi masih terbang, pemberi izin juga diberikan sanksi kalau ada unsur kesengajaan," kata Bamsoet.

Baik JK ataupun Bamsoet sama-sama menyampaikan penekanan ketika belum ada pengumuman terang terkait penyebab kecelakaan Lion Air JT-610. Belakangan, Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyimpulkan sembilan faktor penyebab kecelakaan Lion Air JT-610 di perairan Karawang, Jawa Barat.

Evakuasi Lion Air JT-610 (Mery Handayani/VOI)

Salah satu poin krusial yang disampaikan KNKT adalah "... asumsi terkait reaksi pilot yang dibuat pada proses desain dan sertifikasi pesawat Boeing 737-8 (MAX), meskipun sesuai referensi yang ada, ternyata tidak tepat."

Hal itu disampaikan Kasubkom Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo, ditulis BBC. Selain itu, salah satu kerentanan yang menyebabkan kecelakaan Lion Air JT-610 adalah desain MCAS yang hanya mengandalkan satu sensor. Rentan kesalahan.

MCAS atau Maneuvering Characteristics Augmentation System memiliki fitur otomatis yang berfungsi memproteksi pesawat dari manuver berbahaya, seperti terangkatnya hidung pesawat terlalu tinggi. Manuver itu rawan mengakibatkan pesawat stall.

"Pilot mengalami kesulitan melakukan respons yang tepat terhadap pergerakan MCAS yang tidak seharusnya, karena tidak ada petunjuk dalam buku panduan dan pelatihan," papar Nurcahyo.

Masalah penerbangan Indonesia

Penerbangan Indonesia jelas tak baik-baik saja. Aviation Safety Network mencatat pasar penerbangan Indonesia sebagai yang paling mematikan di dunia selama satu dekade terakhir, 'mengungguli' Rusia, Iran, bahkan Pakistan.

Dalam dekade itu tercatat 697 korban jiwa dalam kecelakaan pesawat di dalam negeri, termasuk kecelakaan pesawat pribadi dan militer. Aviation Safety Network mencatat dua kecelakaan paling maut, yakni kecelakaan Air Asia Indonesia dengan nomor penerbangan QZ8501 dan kecelakaan Lion Air JT-610.

Ilustrasi foto (Ifiek Ismoedjati/Unsplash)

Melansir Reuters, Senin, 11 Januari, Air Asia QZ8501 jatuh di perairan Laut Jawa pada 28 Desember 2014. Kecelakaan itu menewaskan 155 penumpang dan tujuh kru pesawat. Sementara, kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 pada 2018 mencatat 189 korban tewas yang terdiri dari penumpang dan awak kabin.

Dunia internasional merespons getir dunia penerbangan Indonesia. Uni Eropa melarang penerbangan maskapai asal Indonesia usai rangkaian kecelakaan. Uni Eropa juga mencatat laporan pengawasan dan pemeliharaan penerbangan yang memburuk. Sementara, Amerika Serikat (AS) menurunkan evaluasi keselamatan penerbangan Indonesia ke kategori 2, yang artinya tergolong dalam sistem peraturan yang tak memadai selama rentang 2007-2016.

Terkait kecelakaan Sriwijaya Air SJ-182, pakar investigasi kecelakaan udara yang berbasis di Australia, Geoff Dell mengatakan penyelidik akan melihat faktor-faktor, termasuk kegagalan mekanis, tindakan pilot, catatan perawatan, kondisi cuaca, hingga apakah ada gangguan yang melanggar hukum dengan pesawat. Sebagian besar kecelakaan udara disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor yang perlu waktu berbulan-bulan untuk disimpulkan.

Tim gabungan dalam proses SAR Sriwijaya SJ-182 (Angga Nugraha/VOI)

"Ada banyak pendapat yang dibuat tentang kecepatan penurunan terakhirnya. Ini indikasi dari apa yang terjadi, tapi kenapa itu terjadi, masih dalam banyak hal masih pertanyaan. Ada banyak cara agar Anda bisa menurunkan pesawat dengan kecepatan itu," jelasnya.

Dalam kesempatan berbeda, Editor Pelaksana FlightGlobal menambahkan, catatan operasional Sriwijaya Air juga perlu dicermati. Menurutnya, sepanjang 2008-2017 Sriwijaya Air telah mengistirahatkan empat armada Boeing 737.

"Karena pendaratan yang buruk dan mengakibatkan pesawat keluar dari runway. termasuk pada tahun 2008 yang menyebabkan seorang tewas dan 14 cedera," tandasnya.

Membenahi penerbangan

Dengan kompleksnya persoalan penerbangan, otoritas diminta serius memenuhi narasi yang mereka lempar soal pembenahan hajat penerbangan tiap kali tragedi kecelakaan pesawat terjadi. Pengamat penerbangan, Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim mengatakan satu konteks krusial dalam upaya membenahi penerbangan Indonesia adalah memperketat pengawasan.

"Regulasi saya kira sudah cukup. Bukan regulasi tapi pengawasan. Konteks pengawasan," kata Chappy, dihubungi VOI, Senin, 11 Januari.

Secara fundamental, aktivitas penerbangan memiliki tiga prinsip: disiplin, monitoring berkelanjutan, dan penerapan efek jera. Tiga hal itu harus jadi siklus yang terus dijaga. Regulasi adalah landasan. Alatnya sistem pengawasan.

Indonesia memiliki lubang besar di sistem pengawasan aktivitas penerbangan, terutama soal Dewan Penerbangan yang absen di negara ini. Chappy menjelaskan krusialnya Dewan Penerbangan dalam sistem pengawasan penerbangan.

"Harus dibentuk Dewan Penerbangan. Lembaga itu nanti yang menindaklanjuti temuan-temuan hasil KNKT. Jadi itu corrective action," kata Chappy.

Dewan Penerbangan, dalam fungsi idealnya bertugas memberi masukan kepada otoritas penerbangan nasional. Tak cuma soal penerbangan komersil tapi juga yang menyangkut aktivitas udara militeristik hingga konteks bisnis penerbangan.

Melihat sejarah, Indonesia sejatinya sempat memiliki lembaga semacam ini. Namanya Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia (Depanri). Lembaga ini dibentuk Oktober 1993, sebelum kemudian dibubarkan pada Desember 2014 lewat Peraturan Presiden Nomor 176 Tahun 2014.