Setelah Sriwijaya Keluar dari Bengkel Garuda
Pesawat Garuda Indonesia dan Sriwijaya Air (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ-182 jatuh di perairan sekitar Pulau Laki dan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu, Jakarta. Perawatan Sriwijaya Air jadi sorotan. Sriwijaya Air sempat mengalami masalah utang yang mengakibatkan putusnya kontrak perawatan pesawat dengan Garuda Maintanance Facility (GMF). Otoritas diminta mengecek riwayat perawatan pesawat atau log book.

Sriwijaya Air mengalami pasang surut luar biasa dalam bisnisnya. Menjajaki penerbangan pertama pada 10 November 2003, Sriwijaya Air memulai semuanya dengan satu armada jenis Boeing 737-200.

Seiring waktu, Sriwijaya Air berkembang. Mereka pun menambah koleksi pesawat hingga 15 unit dengan seluruhnya Boeing. Di tahun keempatnya, yakni 2007, Sriwijaya Air dianugerahi penghargaan keselamatan penerbangan Boeing International Award for Safety and Maintanance of Aircraft.

Prestasi itu berlanjut. Pada 2013, perusahaan mendirikan maskapai pengumpan yang mereka namai NAM Air. Dua tahun dari sana, maskapai mendapat sertifikasi keselamatan penerbangan dari Flight Safety Foundation, organisasi nirlaba independen yang berbasis di Amerika Serikat (AS).

Masalah utang dengan Garuda Indonesia

Sriwijaya Air dan Garuda Indonesia (Sumber: Commons Wikimedia)

Sejak akhir 2019, masalah utang Sriwijaya Air mencuat. Maskapai yang dirintis pengusaha Chandra Lie, Hendry Lie, dan Johannes Bunjamin diketahui berutang ke sejumlah pihak. Januari 2020, PT Garuda Maintanance Facility Aeroasia Tbk (GMFI) mengungkap tunggakan utang Sriwijaya Air kepada pihaknya yang mencapai Rp810 miliar.

Pada 2018, Sriwijaya Air menjalin kerja sama manajemen dengan Garuda Indonesia. Kerja sama itu diharapkan menyelamatkan Sriwijaya Air dari masalah keuangan. Namun kerja sama itu tak berjalan sesuai rencana. Kedua pihak memutuskan menghentikan kerja sama.

Dampaknya, GMF Aero Asia, anak perusahaan Garuda Indonesia sempat menolak memberikan layanan perawatan pesawat untuk Sriwijaya Air. Hal itu cukup memukul Sriwijaya Air. Tak adanya perawatan dari bengkel Garuda sempat membuat Sriwijaya Air dinyatakan tak layak terbang.

Namun, pada Oktober 2019, Sriwijaya Air kembali dinyatakan dapat beroperasi seiring kembalinya layanan perawatan dari GMF secara bertahap. Dikutip Kontan, Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk Ari Askhara kala itu mengatakan, “Kemarin kan memang kita setop layanan untuk maintenence-nya. Nah sekarang kita resume untuk kembali beroperasi,” kata Ari.

November 2019, kerja sama dua pihak kembali gugur. Sriwijaya Air menilai kerja sama yang dijalin dengan Garuda Indonesia justru membuat kinerja perusahaan makin buruk. Sriwijaya Air dan Garuda Indonesia juga berselisih mengenai jumlah utang. Sriwijaya Air menolak klaim Garuda Indonesia yang menyebut utang Sriwijaya berkurang 18 persen.

Pesawat Sriwijaya Air (Sumber: Commons Wikimedia)

Menurut Sriwijaya utang mereka justru membuncit. Kuasa hukum Sriwijaya Air yang juga pemegang saham Sriwijaya Air kala itu, Yusril Ihza Mahendra mengatakan membuncitnya utang Sriwijaya Air disebabkan intervensi Garuda Indonesia yang berakibat pada bertambahnya pengeluaran perusahaan.

Salah satu intervensi yang dimaksud Yusril adalah pengalihan perawatan pesawat ke Garuda Maintanance Facility (GMF). Sebelumnya, perawatan pesawat dikerjakan oleh teknisi Sriwijaya Air. GMF membuat Sriwijaya Air mengeluarkan biaya lebih mahal untuk perawatan.

Yusril juga menjelaskan skema kerja sama yang merugikan Sriwijaya Air. Menurut Yusril, kerja sama kedua pihak berubah, dari semula kerja sama operasional menjadi kerja sama manajemen. Dampaknya, Sriwijaya air diharuskan membayar management fee sebesar 5 persen dan bagi hasil 65 persen kepada Garuda Indonesia.

“Itu dihitung dari pendapatan kotor perusahaan. Akibatnya perusahaan bisa tumbang kalau kayak gitu. Jadi ini mau menyelamatkan Sriwijaya atau menghancurkan,” Yusril, dikutip Tirto.

Selain dengan Garuda Indonesia, Sriwijaya Air juga diketahui mengalami masalah utang dengan perusahaan BUMN lain. Dikutip Kumparan, setidaknya ada sejumlah utang yang pernah dicatatkan Sriwijaya Air: Pertamina Rp942 miliar, BNI Rp585 miliar (pokok), Angkasa Pura I Rp50 miliar, hingga Angkasa Pura II Rp 80miliar.

Perawatan pesawat Sriwijaya

Pasca-jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182, perawatan pesawat-pesawat Sriwijaya Air jadi sorotan. Pengamat penerbangan Antonius Lisliyanto mendorong otoritas segera membuka riwayat perawatan pesawat Sriwijaya Air (log book).

"Kita harus melihat log books maintenance pesawat tersebut. Dari informasi yang saya dapat pesawat itu mengalami delay. Dari log book itu akan menjelaskan delay karena cuaca atau gangguan teknis," kata Antonius dikutip dari Antara.

Tim gabungan angkat puing pesawat Sriwijaya Air SJ-182 (Ilham Apriyanto/VOI)

Dengan mengecek log book, otoritas dapat mengungkap setidaknya satu hal penting soal kecelakaan, yakni mengenai alasan delay-nya pesawat. "Jika dalam log book itu delay karena gangguan teknis, maka pesawat memang sedang tidak ready," kata Antonius.

Kami telah menghubungi Corporate Communication Sriwijaya Air Theodora Erika untuk mengonfirmasi sejumlah hal, terutama soal perkembangan terbaru jumlah utang Sriwijaya Air serta bagaimana utang itu berdampak pada perawatan pesawat-pesawat mereka. Theodora belum bersedia kami hubungi.

"Belum bisa konfirmasi by phone," katanya melalui pesan singkat kepada VOI, Minggu malam, 10 Januari.