Bagikan:

JAKARTA – Musibah hilangnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182 yang belakangan dikabarkan jatuh di sekitar perairan Kepulauan Seribu, Jakarta pada Sabtu 9 Januari mengundang keprihatinan dari berbagai pihak. Pesawat dengan rute Jakarta-Pontianak itu hilang kontak dari menara pengawas ATC beberapa menit setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta pada pukul 14.36 WIB.

Jauh sebelum peristiwa nahas itu terjadi, maskapai milik keluarga Chandra Lie itu disebut-sebut sempat ingin mengubah status perusahaan menjadi entitas publik melalui mekanisme pelepasan saham perdana (initial public offering/IPO).

Berdasarkan informasi yang dihimpun VOI, niatan Sriwijaya Grup menjadi perusahaan terbuka santer terdengar pada medio 2017 silam. Kala itu sang bos berujar bahwa maskapai akan melepas saham perdana dengan persentase 25 persen. Meski demikian, Chandra enggan menyebutkan secara pasti kapan eksekusi IPO itu akan dilakukan.

“Rencanannya dana yang terhimpun akan digunakan untuk perluasan bisnis perusahaan,” tutur Chandra saat itu.

Upaya Sriwijaya Grup untuk ‘melantai’ di Bursa Efek Indonesia tampaknya merupakan langkah strategis untuk memperkuat struktur permodalan usaha. Sebab, maskapai yang mulai beroperasi sejak 2003 itu diyakin sedang dalam kondisi finansial yang tidak terlalu sehat.

Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, Sriwijaya Air sempat bolak-balik mengalami hambatan dalam kegiatan operasional penerbangan.

Sebagai gambaran, pada November 2018 Sriwijaya Air diketahui memiliki sejumlah kewajiban pembayaran kepada Garuda lewat anak usaha PT Garuda Maintenance Facility AeroAsia Tbk. (GMF) terkait dengan perawatan pesawat.

Tidak hanya Sriwijaya Air, PT Nam Air yang merupakan salah satu lini usaha Sriwijaya juga masuk dalam skema kerja sama operasional (KSO) kedua belah pihak.

Dalam perjalanannya, pada 24 September 2019 GMF mulai mencopot mesin dan beberapa properti dari badan pesawat Sriwijaya, serta menghentikan layanan perawatan pesawat sebagai buntut dari tunggakan biaya yang belum dipenuhi.

Tidak lama berselang, pada 1 Oktober 2019 Sriwijaya dan Garuda setuju untuk rujuk dan kembali melanjutkan kerja sama operasional dengan pembaharuan perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Kemudian, perpecahan dua maskapai dalam negeri ini kembali muncul. Pada 7 November 2020 berhembus kabar bahwa Sriwijaya dan Garuda pecah kongsi (lagi).

Garuda menjelaskan bahwa kerja sama dengan maskapai milik keluarga Chandra Lie itu hanya berskema business-to-business (b to b). Adapun, kewajiban Sriwijaya dengan pihak lessor sepenuhnya tanggung jawab perusahaan dan bukan bagian dari kepentingan Garuda.

Pada awal 2020, Sriwijaya Air mulai membuka diri atas kondisi keuangan perusahaan. Direktur Direktur Utama Sriwijaya Air Group Jefferson Jauwena menyebut bahwa informasi terkait utang perusahaan yang saat ini beredar di masyarakat merupakan klaim sepihak debitur.

“Untuk itu kami perlu memastikan dengan menunjuk auditor independen apakah utang yang ditagihkan tersebut wajar atau tidak,” ujarnya saat menggelar konferensi pers di Jakarta, 20 Januari 2020.

Adapun, informasi mengenai nilai kewajiban Sriwijaya Air yang saat ini diketahui adalah berjumlah Rp2,02 triliun pada 2019 lalu. Angka tersebut terdiri dari tunggakan kepada GMF Rp616 miliar, Pertamina Rp846 miliar, serta PT Bank Negara Indonesia (BNI) sebesar Rp563 miliar.

Hari ini, Sriwijaya Air tengah dirundung situasi tidak menguntungkan. Semoga semua pihak yang terkait dengan maskapai ini mendapat solusi terbaik atas persoalan yang dihadapai. Terlebih, untuk keluarga dari penumpang pesawat SJ-182 yang harus dipenuhi setiap hak dan kewajibannya.

Sehingga, slogan Sriwijaya Air “Your Flying Partner” dapat terus eksis dan tetap mendapat kepercayaan masyarakat Indonesia sebagai penyedia jasa layanan udara yang baik.