Belajar dari Kasus Ferdy Sambo: Berpikir Rasional Sangat Penting Agar Diri Sendiri Tak Rugi
Ferdy Sambo dituntut hukuman seumur hidup oleh jaksa. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA – Sebagai kepala keluarga, menjaga serta melindungi marwah dan kehormatan keluarga adalah hal mutlak. Itulah mengapa, Ferdy Sambo marah ketika istrinya, Putri Candrawathi menceritakan peristiwa pelecehan seksual yang dialaminya di Magelang.

Emosi Ferdy Sambo semakin memuncak saat mengetahui pelakunya adalah ajudannya sendiri, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Dengan relasi kuasa yang lebih besar, Sambo mengajak ajudan lainnya untuk ‘menghukum’ Yosua.

Sebagai jenderal bintang dua, dia tak lagi mampu berpikir rasional. Meniadakan azas praduga tak bersalah yang sejatinya terus melekat dalam dirinya sebagai polisi, yang sudah puluhan tahun berkecimpung dalam dunia reserse.

Kondisi itu, menurut Ahli Psikologi Forensik dari Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia Reni Kusumowardhani, bisa terjadi dengan siapapun.

“Ketika emosi memuncak, seseorang tidak lagi bisa mengontrol akal sehat. Karena stimulus yang datang luar biasa, dalam arti stimulus yang sangat mengganggu prinsip hidup yang diyakini,” kata ahli psikologi forensik dari Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia, Reni Kusumowardhani kepada VOI, Rabu (18/1).

Ahli Psikologi Forensik dari Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia Reni Kusumowardhani (Tangkapan layar YouTube)

Riset menunjukkan lebih dari 60 persen pasangan cenderung melakukan hal sama menurut Reni. Suami akan merespon dengan amarah yang luar biasa ketika mengetahui istrinya dilecehkan.

Tengok kasus artis Hollywood, Will Smith. Dia langsung naik pitam mendengar candaan Chris Rock di atas panggung Oscar pada Maret 2022 yang membandingkan penampilan gundul istrinya, Jada Pinkett dengan Demi Moore di Film ‘G.I. Jane’.

Smith langsung menghampiri dan menampar Chris Rock di hadapan para undangan Oscar meskipun dia sebenarnya bisa memperingatkan Rock dengan berteriak dari tempat duduknya.

Atau kasus di Medan, suami berinisial AS (29) menganiaya sopir angkutan hingga tewas belum lama ini. Motifnya diketahui juga karena si sopir kerap melecehkan istrinya.

“Dalam arti, luapan emosi terjadi kalau ada stimulus. Kalau stimulusnya biasa saja, mungkin luapan emosi yang terjadi juga biasa, mungkin juga tidak sampai terjadi penghilangan nyawa orang lain,” ucap Reni.

Sementara, dalam kasus Ferdy Sambo, lanjut Reni, “Stimulus berasal dari Putri yang menceritakan peristiwa pelecehan yang dialaminya. Sambo kemudian menerima dan meyakini stimulus tersebut secara utuh dan menganggapnya sebagai bentuk penghinaan harkat dan martabat pribadi dan keluarganya.”

Ferdy Sambo bereaksi keras, sesuai dengan kepribadiannya yang teguh memegang prinsip budaya siri na pacce, yakni filosofi hidup masyarakat Sulawesi Selatan yang berarti menjaga harga diri serta kokoh dalam pendirian.

“Jadi, ketika harga dirinya terganggu, kehormatannya terganggu, awalnya muncul respon fisiologis dan respon emosi,” katanya.

Will Smith menampar Chris Rock yang dianggap melecehkan istrinya, Jada Pinkett di depan umum. (news.sky.com)) 

Ini dibuktikan dari keterangan Ricky. Dia bercerita dipanggil ke atas, kemudian melihat gestur Ferdy Sambo dengan tangan mengepal, nafasnya memburu, dan menangis. Lalu, Sambo menanyakan, “Kamu tahu apa yang terjadi dengan ibu?”

“Di satu sisi memang kepribadian Ferdy Sambo, dari hasil pemeriksaan, memang termasuk orang yang mudah emosi. Sehingga, ada cerita sensitif yang diterima dan diyakini. Lalu, situasi kondisi yang memiliki relasi kuasa, jenderal bintang 2, punya akses senjata, punya anak buah, nah di sinilah emosi kemudian bergeser menjadi situasi perkara yang disidangkan sekarang,” terang Reni.

“Jadi itu terlepas dari peristiwanya benar atau tidak. Kami sebagai psikolog berada di posisi independen, imparsial tidak berpihak pada siapapun. Kita melihatnya dari pemeriksaan psikologis,” Reni menambahkan.  

Rekayasa Kasus

Namun, bila melihat dari perspektif lain, semisal upaya rekayasa kasus, apa yang dilakukan Ferdy Sambo tidak menunjukkan profesionalitasnya sebagai petinggi Polri. Terlebih, jabatannya ketika itu adalah Kadiv Propam, kepala para pengadil polisi.

Dia tidak berani bertanggung jawab secara langsung atas apa yang disebutnya sebagai upaya membela harkat dan martabat keluarga. Dia justru merusak reputasi institusi Polri di mata masyarakat.

Bahkan, sejumlah personel Polri terseret dalam kasus tersebut. Sebanyak 97 orang diperiksa, beberapa di antaranya mendapat sanksi mulai dari demosi hingga pemecatan, beberapa lainnya menjadi terdakwa.

Inilah yang kemudian menjadi salah satu pertimbangan jaksa penuntut umum menjatuhkan tuntutan kepada Ferdy Sambo hukuman pidana seumur hidup. “Tidak sepantasnya dilakukan dalam kedudukannya sebagai aparatur penegak hukum dan petinggi Polri.”

Ferdy Sambo dinilai mencoreng institusi Polri di mata masyarakat Indonesia dan dunia internasional.

“Tidak ada hal-hal yang meringankan,” ucap Jaksa Penuntut Umum, Rudy Irmawan saat membacakan tuntutan di hadapan Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (18/1).

Terkait