JAKARTA – Provinsi Bali masih menjadi tujuan utama perdagangan penyu ilegal. Sebanyak 43 ekor penyu hijau yang diamankan di Perairan Pantai Klatakan, Jembrana, Bali pada 13 Januari lalu adalah buktinya. Situasi ini tentu menyulitkan program konservasi penyu, salah satu reptilia laut yang dilindungi.
Ini bukanlah kasus pertama yang terjadi di Bali. Sepanjang 2022 saja tercatat sudah beberapa kali pihak berwenang menggagalkan upaya penyelundupan dan menyita total puluhan ekor penyu.
Bila melihat sejarah, Bali memang sempat menjadi pusat perdagangan penyu sejak tahun 1960-an. Penyu dalam mitologi masyarakat Hindu Bali dianggap hewan suci yang menyangga dunia, menciptakan keseimbangan dan keharmonisan alam. Moertjipto dan Bambang Prasetya dalam buku ‘The Kresnayana Reliefs of the Visnu Temple’ menyebut penyu sebagai jelmaan Dewa Wisnu.
Itulah mengapa, sejumlah upacara adat di Bali memiliki prosesi khusus mengonsumsi daging penyu. Bahkan, upacara adat, seperti Pedudusan Agung, Ngenteg Linggih, Eka Dasa Rudra, dan Panca Bali Krama, kabarnya masih melaksanakan ritual tersebut hingga saat ini, meski hanya sebagai kelengkapan upacara.
Bagian kepala, ekor, dan sirip penyu dibiarkan utuh, sedangkan dagingnya diolah menjadi bahan sesajen dalam bentuk sate, lawar dan lainnya.
Seiring semakin melesatnya sektor pariwisata di Bali, hidangan penyu mulai menjadi kuliner khas yang juga laris manis untuk masyarakat maupun para turis. Konon, tulis Agus Susanto dalam buku ‘Penangkaran Penyu’, terdapat puluhan rumah makan yang biasa menyediakan hidangan daging penyu. Belum lagi yang ada di pinggir jalan.
Bahkan, cendera mata yang berasal dari bagian tubuh penyu pun laku keras. Sehingga, kebutuhan penyu dari tahun ke tahun meningkat drastis. Pada periode 1981-1988 saja, kata Agus, jumlah penyu yang dipasok ke Bali rata-rata 14 ribu ekor per tahun.
Di sisi lain, kondisi tersebut memunculkan kekhawatiran dari sejumlah lembaga pemerhati lingkungan. Sebab, tingkat keberhasilan hidup penyu cukup rendah menurut kajian para ahli. Kemungkinan hanya 1-2 persen saja penyu yang dapat tumbuh hingga usia dewasa dari ratusan telur yang dihasilkan.
International Union Conservation of Nature (IUCN) bereaksi keras. Menganggap Indonesia telah melakukan eksploitasi penyu hingga mengancam kepunahan dan kerusakan ekosistem laut. Saking geramnya, organisasi nirlaba pembela lingkungan Greenpeace pada 1989 juga sampai mengampanyekan ‘Slaugther in Paradise’, mengajak masyarakat dunia memboikot pariwisata Bali.
“Indonesia merupakan tempat berkembang biak terbesar bagi penyu sisik dan penyu hijau. Sayangnya, kedua spesies ini mulai punah. Diperkirakan 21.000 penyu hijau telah disembelih, dan angka ini terus meningkat,” tulis Greenpeace.
World Wildlife Fund (WWF) Indonesia pun menyebut “Lebih dari 50.000 penyu laut dibunuh di kawasan Asia Tenggara (khususnya di Bali, Indonesia) dan di Pasifik Selatan.”
Pemerintah Indonesia kemudian menerbitkan Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UU ini melarang perdagangan penyu untuk tujuan komersil karena semua jenis penyu laut telah dimasukkan dalam appendix I berdasar ketentuan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES).
Lalu, pada 1999, menerbitkan kembali Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Ini berarti pemerintah melarang segala bentuk perdagangan penyu baik dalam keadaan hidup, mati maupun penjualan bagian tubuhnya.
Namun, untuk keperluan adat, sikap pemerintah lebih bijak. Kepala Seksi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali Sumarsono mengatakan, “Setiap desa adat bisa membuat permohonan tertulis kepada BKSDA. Penyu yang diambil bukan yang dari alam, tetapi penyu yang kita besarkan sendiri, mulai dari telur. Jadi, tidak sembarangan, kita selektif, dan terpantau penggunaannya.”
Menuju Konservasi
Kendati sudah ada aturan tersebut, ternyata penangkapan dan perdagangan penyu masih marak terjadi. Agus menilai memang sangat sulit mencegahnya. Banyak aspek sosial dan ekonomi masyarakat terkait. Terlebih, bila melihat nilai jualnya.
Harga penyu di pasar ilegal, menurut beberapa sumber, bisa mencapai Rp5 juta per ekor, bahkan lebih untuk ukuran besar. Atau ada yang menjualnya dengan harga kiloan, hingga Rp85 ribu per kilogram.
Sebagai solusi, Agus memberikan beberapa gagasan pendekatan untuk mengupayakan pengurangan penangkapan menuju konservasi penyu, seperti:
- Pengaturan pemanfaatan penyu dengan sistem kuota yaitu untuk membatas jumlah penyu yang diizinkan masuk Bali. Cara ini lebih murah daripada pengendalian di lapangan.
- Penerapan sistem perizinan dan pengawasan yang ketat dengan sanksi yang berat. Untuk ini perlu prosedur dan petunjuk kerja yang jelas sehingga memudahkan petugas menyelesaikan permasalahan di lapangan.
- Penerapan sistem pajak terhadap izin kuota penyu yang masuk ke Bali. Provinsi ini merupakan konsumen penyu tertinggi. Diharapkan sistem ini akan meningkatkan biaya pengadaan daging penyu sehingga harga dasarnya meningkat menjadi lebih tinggi dari pada harga pasar. Bila harga penyu mahal, jumlah pembeli akan terbatas.
- Peningkatan penyuluhan konservasi kepada masyarakat, terutama anak-anak didik. Masih banyak orang yang belum memahami pentingnya konservasi untuk kelestarian pemanfaatan.
- Pengembangan penangkaran penyu.
“Upaya-upaya tersebut tidak mudah dilaksanakan. Keterkaitan berbagai aspek memerlukan koordinasi. Ini menyangkut di antaranya keselarasan hubungan pusat dengan daerah. Khusus untuk penyu hijau upaya konservasi tidak cukup ditangani hanya dari aspek ekologi dan biologi, tetapi juga melalui pendekatan manusiawi (budaya) dan ekonomi,” Agus Susanto menuliskan dalam buku Penangkaran Penyu.