JAKARTA - Indonesia tengah bersiap menyelenggarakan pesta demokrasi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan 14 Februari 2024 sebagai hari pemungutan suara. Namun, sejumlah kalangan masih meragukan apakah Pemilu kali ini benar-benar bisa menghasilkan sosok pemimpin yang mampu membawa Indonesia menuju kemakmuran?
Saat ini saja, kepercayaan masyarakat selaku pemilih terhadap partai politik semakin menurun. Padahal, masyarakat dan partai politik merupakan dua elemen yang menentukan kesuksesan Pemilu dalam menemukan sosok pemimpin yang memiliki kualitas dan integritas.
Masyarakat, kata Asep Nurjaman dalam bukunya ‘Partai dan Pemilu: Perilaku Politik di Aras Lokal Pasca Orde Baru’, sudah memperlakukan Pemilu sebagaimana laiknya pasar. Mereka hanya ingin memilih partai politik yang menguntungkan. Partai apapun yang masuk akan diterima asalkan bisa memberi kontribusi pada lingkungan dan masyarakat.
Mereka berhati-hati dengan ide-ide segar dari partai baru sebagaimana halnya terhadap partai lama yang menjadi pilihannya. Masyarakat sudah punya anggapan bahwa setelah Pemilu dilakukan tidak akan ada perubahan apapun pada mereka.
“Coba aja mas, saya ini dari dulu ya gini-gini aja. Ada Pemilu ataupun tidak ada Pemilu, nasib saya tetap tidak berubah. Kalau gitu, ya mendingan apa yang bisa didapatkan sekarang, ke depan kan kita tidak tahu, paling mereka yang kita dukung lupa,” tulis Asep merujuk hasil observasinya.
Sehingga, kata Asep demokrasi yang tercipta adalah demokrasi warung. Ada yang membayar, maka akan diberi suara.
Pemikiran tersebut memang bisa dipahami bila berkaca dari perilaku korupsi para pejabat yang kian merajalela, bahkan Menko Polhukam Mahfud MD saja menilai korupsi pada era reformasi lebih menggila dari era Orde Baru. Seperti kanker, sudah menjangkiti semua sektor pemerintahan.
"Sekarang bapak lihat ke DPR korupsi sendiri, MA korupsi sendiri, MK hakimnya korupsi, kepala daerah, DPRD ini semua korupsi sendiri-sendiri," ungkap Mahfud dalam suatu dialog dengan para akademisi di Yogyakarta.
"Karena apa? Atas nama demokrasi. Sesudah demokrasi maka bebas melakukan apa saja. Pemerintah tidak boleh ikut campur. Jadi demokrasinya (juga) semakin meluas," tambahnya.
Berdasar data KPK, sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022 tak kurang dari 22 gubernur dan 148 bupati/wali kota telah ditindak oleh KPK. Jumlah itu tentu bisa lebih besar jika digabungkan dengan data dari Kejaksaan dan Kepolisian.
Indonesia Corruption Watch (ICW) saja mencatat tak kurang dari 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum sepanjang tahun 2010-Juni 2018. Belum lagi, tersangka dari kalangan anggota DPR/DPRD yang mencapai 586 orang pada periode 2010-2019.
Ilalahnya hukuman koruptor bukan diperberat, justru semakin ringan. Bukti nyata terlihat dari isi UU KUHP yang belum lama ini disahkan DPR. Tak heran, bila muncul asumsi memberantas korupsi dan menjadikan korupsi sebagai tindak kejahatan luar biasa hanya sekadar slogan.
Tak heran pula, kata Asep, bila sebagian pemilih cenderung menjadi apatis dan sinis terhadap partai politik.
Beban Finansial
Muhadam Labolo dan Teguh Ilham dalam buku ‘Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia’ pun mengakui politik Indonesia saat ini memang sarat dengan berbagai macam penyimpangan. Bergeser dari makna politik itu sendiri yakni untuk membangun dan mewujudkan masyarakat yang ideal atau lebih baik.
Memang sangat dilematis, partai politik pun tak bisa berbuat banyak karena kerap bermasalah dengan finansial. Hampir tidak ada partai yang bisa bertahan hidup hanya dengan mengandalkan iuran anggota.
“Padahal, kebutuhan partai politik tidak pernah berkurang bahkan terus bertambah seiring makin ketatnya persaingan antarpartai,” kata Muhadam dan Teguh.
Alhasil, partai politik cenderung mencari pemasukan lain dengan merekrut kalangan-kalangan berduit yang ingin menjadi pejabat publik. Asal memiliki uang, mereka yang tidak memiliki kompetensi pun bisa menjadi pejabat. Atau bersandar terhadap pengusaha.
Inilah yang membuat independensi partai politik rentan terganggu. Bukan tidak mungkin, partai nantinya akan lebih mengutamakan kepentingan para penyumbang dibandingkan dengan kepentingan rakyat.
“Maraknya kasus korupsi telah menunjukkan kepada kita bahwa betapa tidak sehatnya kondisi keuangan partai politik di negara ini. Mereka korupsi bukanlah semata-mata karena motif pribadi. Kebutuhan partai politik akan dana besar agar bisa memenangkan Pemilu telah mendorong para politisi untuk berlaku koruptif,” ungkap Muhadam dan Teguh.
Kembali ke UUD 1945
Fakta-fakta tersebut membuktikan implementasi sistem politik pasca amandemen UUD 1945 tahun 2002 yang sudah berjalan terbukti tidak efektif. Ubedilah Badrun dalam buku ‘Sistem Politik Indonesia: Kriteria dan Solusi Sistem Politik Efektif’ menyarankan perlu ada perbaikan sistem politik Indonesia.
Secara makro ada tiga pola perbaikan yang bisa dilakukan, satu di antaranya, kembali menggunakan sistem politik berdasarkan UUD 1945 seperti ketika sebelum diamandemen dengan sedikit perubahan pada masa jabatan Presiden, yaitu dibatasi hanya untuk dua kali periode masa jabatan. Ini untuk menghindari absolutisme kekuasaan. Selebihnya sama dengan sistem politik pada masa sebelumnya.
Sistem politik pada masa sebelumnya, baik orde lama maupun orde baru adalah sistem politik yang memadukan perspektif teori politik modern dengan perspektif politik khas Indonesia.
“Ada 2 konsep penting dalam struktur politik kita, yaitu konsep musyawarah yang secara struktural berbentuk MPR yang keanggotaannya dapat berasal dari utusan daerah dan utusan golongan raja-raja nusantara, tokoh daerah berpengaruh, tokoh agama, dan tokoh fungsional. Serta, konsep perwakilan yang secara struktural berbentuk DPR yang anggotanya dipilih melalui Pemilu yang berasal dari partai politik,” tulis Ubedilah.
Keberadaaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sesungguhnya bisa membuat kapabilitas sistem politik terukur dan terarah karena MPR memiliki wewenang melalui musyawarah untuk menyusun GBHN sebagai arah pembangunan negara.
MPR juga yang memilih presiden dan wakil presiden hanya untuk dua kali masa jabatan, sekaligus juga MPR sebagai majelis tertinggi negara bisa melakukan impeachment terhadap presiden jika presiden melanggar Konstitusi UUD 1945.
“Pola pertama ini juga diyakini lebih efisien karena bisa meminimalisasi politik uang saat pemilihan presiden dan wakil presiden karena pemilihan dilakukan di MPR dengan pantauan publik yang ketat dan keberadaan KPK yang ada saat ini,” imbuhnya.