Bagikan:

JAKARTA - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khairunnisa Nur Agustyati, merespons aksi delapan partai politik di DPR yang menolak sistem proporsional tertutup diterapkan dalam Pemilu 2024. Khairunnisa menilai, sistem proporsional terbuka memang masih relevan namun ada kompleksitas dalam pelaksanaannya.  

 Menurutnya, kompleksitas sistem proporsional terbuka bisa diatasi dengan beberapa hal. Misalnya, menyederhanakan atau mengurangi daerah pemilihan (dapil) untuk pemilihan legislatif (pileg). 

“Misalnya, pada tahun 2019 dengan sistem proporsional terbuka, memang ada kompleksitas, surat suara besar, kompleks karena menggabungkan 5 pemilu dalam satu hari. Maka jika belajar dari hal itu, pemilu mendatang tidak menggabungkan 5 pemilu dalam satu hari," ujar Khairunnisa, Rabu, 11 Januari. 

Kemudian untuk jumlah caleg pada daerah pemilihan (dapil), saat ini ada 18 partai yang akan berlaga di Pemilu 2024. Jika dari dapil ada 10 caleg, maka kertas suara semakin besar.

“Nah dapil penting untuk disederhanakan, mungkin paling banyak 6 atau 8. Bagi pemilih, dalam situasi pemilih yang belum pendidikan politik, pemahaman pemilu belum maksimal, mereka belum mencari tahu. Kalau pemilih yang baik kita harus cari tahu,” jelas Khairunnisa.

Apalagi dari pengalaman terdahulu, Khairunnisa mengatakan, banyak caleg yang tidak dikenal pemilih dan sulit didapatkan informasi tentang dirinya. Namun sekarang ini di era digital dan media sosial, siapapun bisa dikenal, dan didapatkan informasinya.

“Tentu medsos jadi chanel yang efektif hari ini, dia mudah, gratis dan cepat menyebarkan info cepat. Itu jadi metode kampanye yang efektif apalagi bagi mereka yang terbatas finansial, dan di medsos bisa berinteraksi,” ungkapnya.

Kendati demikian, menurutnya, meski aktif di media sosial, parpol dan caleg harus waspada dengan adanya disinformasi atau hoaks.  

“Sekarang bagaimana tentu sebagai pemilih publik, paparan informasi bagaimana penyelenggaraan pemilu dan caleg bisa info yang resmi bisa sampai ke pemilih,“ beber Khairunnisa.

Sedangkan terkait politik uang, sistem proporsional terbuka maupun tertutup rentan dengan hal ini. Bedanya, kata dia, dalam sistem proporsional terbuka, uang bisa beredar pemilih dan kandidat. 

"Sementara pada sistem proporsional tertutup, bisa berupa suap untuk menentukan nomor urut partai," kata Khairunnisa.  

Sebelumnya, partai politik (parpol) di parlemen minus PDI Perjuangan (PDIP) kembali menggelar aksi menegaskan menolak sistem proporsional tertutup diterapkan dalam Pemilu 2024 di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu, 11 Januari.

Kedelapan partai membacakan pernyataan sikap menolak proporsional tertutup Pemilu 2024 yang diwakilkan Ketua Komisi II DPR Fraksi Golkar Ahmad Doli. Doli mengungkit putusan MK terkait sistem pemilu yang mengamanatkan pemilihan langsung pada 2008 lalu.

"Kita termasuk negara yang menganut sistem pemilihan langsung, terutama dalam pemilihan presiden dan kepala daerah juga dalam pemilihan legislatif, yang semuanya diangkut dalam undang-undang dasar 1945, itulah juga yang menjadi dasar saat Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008," ujar Doli.

Dia mengatakan, sejak saat itu rakyat dapat memilih orang yang mewakili mereka di legislatif secara langsung. Karenanya, sistem proporsional tertutup sudah tak relevan diberlakukan pada Pemilu 2024.

"Sejak itu rakyat diberi kesempatan untuk bisa mengenal, memilih dan menetapkan wakil mereka secara langsung orang per orang, tidak lagi tertutup, tidak lagi menyerahkan sepenuhnya hanya ke melalui kewenangan partai politik semata, itulah kemajuan sekaligus karakteristik demokrasi kita Indonesia," tuturnya.

Karenanya, Ketua DPP Golkar itu berharap MK mempertahankan sistem pemilu terbuka atau mencoblos langsung nama calegnya, bukan gambar partai.

"Oleh karena itu kemajuan demokrasi kita pada titik tersebut harus kita pertahankan dan malah harus kita kembangkan ke arah yang lebih maju dan jangan kita biarkan atau kembali mundur," pungkas Doli.