Juliari Jadi Mensos Kedua di Era Jokowi yang Jadi Tersangka Korupsi, Mungkinkah Dihukum Mati?
Pimpinan KPK saat mengekspose kasus suap yang dilakukan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara sebagai tersangka dalam kasus korupsi terkait suap pengadaan bantuan sosial sembako untuk masyarakat terdampak COVID-19. Kader PDI Perjuangan ini bukanlah Menteri Sosial pertama yang harus menggunakan rompi oranye.

Pada periode lalu, Jokowi juga harus menelan pil pahit ketika Idrus Marham yang duduk di posisi yang sama, ditetapkan sebagai tersangka suap KPK. Hanya saja, saat itu, Idrus bukan melakukan korupsi berkaitan dengan bantuan sosial melainkan dia menerima suap dari pengusaha Johanes Kotjo terkait proyek PLTU Riau-1.

Penetapan Juliari sebagai tersangka cukup mengagetkan publik. Apalagi sebelumnya, komisi antirasuah baru saja menetapkan seorang menteri lainnya di Kabinet Indonesia Maju yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. 

Perjalanan kasus Juliari diawali melalui sebuah operasi tangkap tangan (OTT) yang bermula dari informasi masyarakat pada Jumat, 4 Desember. Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, informasi itu menyebut diduga terjadi penerimaan uang oleh sejumlah penyelenggara negara yang diberikan oleh Ardian I. M (AIM) dan Hary Sidabuke (HS) selaku pihak swasta kepada dua Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yaitu Matheus Joko Santoso (MJS), Adi Wahyono (AW), dan Mensos Juliari Batubara yang diberikan melalui orang kepercayaannya termasuk seorang Sekretaris Kemensos, yaitu Shelvy N.

Selanjutnya, setelah operasi senyap dilakukan di sejumlah lokasi di Jakarta pada Sabtu, 5 Desember, KPK menetapkan lima orang tersangka dalam kasus ini, termasuk Juliari.

"KPK menetapkan lima orang tersangka. Sebagai penerima JPB (Juliari Peter Batubara), MJS, dan AW. Sebagai pemberi adalah AIM dan HS," kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers penetapan tersangka, Minggu, 6 Desember.

Eks Deputi Penindakan KPK ini menjelaskan, Juliari sebagai Menteri Sosial diduga menunjuk MJS dan AW sebagai Pejabat Pembuat Komitmen yang kemudian menunjuk langsung rekanan yang akan mengisi proyek pengadaan bansos di Kemensos senilai Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilakukan dalam dua periode.

Dalam periode pertama, kata Firli, Juliari diduga menerima fee sebanyak Rp8,2 miliar melalui AW dari total Rp12 miliar yang berasal dari kesepakatan pembayaran Rp10 ribu oleh rekanan proyek kepada Kementerian Sosial. Pemberian ini dikelola oleh orang kepercayaannya bernama Eko dan Shelvy untuk membayar keperluan pribadi Menteri Juliari.

Berikutnya, pada periode kedua pelaksanaan paket bansos, Juliari kembali mendapatkan uang sebesar Rp8,8 miliar dari uang fee yang terkumpul sejak Oktober hingga Desember. Sama seperti periode sebelumnya, uang miliaran ini akan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhannya.

Meski telah ditetapkan sebagai tersangka, namun, Juliari saat itu tidak ikut ditampilkan sebagai tersangka dengan rompi oranye. Dia baru tiba di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan pada Minggu, 6 Desember sekitar pukul 02.50 WIB dan langsung diperiksa intensif sebelum akhirnya ditahan di Rutan Cabang KPK Gedung ACLC Kavling C1 dan kemudian akan dipindahkan ke Rutan KPK Cabang Pomdam Jaya Guntur.

Usai Juliari menggunakan rompi oranye dan ditetapkan sebagai tersangka, PDI Perjuangan sebagai partai asal Juliari mengeluarkan pernyataan. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan partainya akan menghormati seluruh proses hukum yang dilakukan KPK terhadap kadernya itu.

"Partai menghormati seluruh proses hukum yang sedang berlangsung. Hukum adalah jalan peradaban untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Siapapun wajib bekerja sama dengan upaya yang dilakukan KPK tersebut," ungkap Hasto.

"Kami selalu tegaskan bahwa kekuasaan itu untuk rakyat. Partai melarang segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi," imbuhnya.

Kemudian pada siang hari, Presiden Jokowi melalui sebuah video yang diunggah di akun YouTube Sekretariat Presiden mengatakan dirinya tak akan melindungi siapapun yang terlibat korupsi termasuk menterinya. Apalagi dia sudah mengingatkan sejak awal para menterinya untuk tidak melakukan korupsi.

Selain itu, dia yakin KPK akan bekerja dengan profesional termasuk dalam mengusut dugaan suap yang menjerat Juliari.

"Kita semua percaya KPK bekerja secara transparan, secara terbuka, secara baik, profesional dan pemerintah akan terus konsisten mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi," kata Jokowi seperti dikutip dari pernyataannya dalam video tersebut.

Selanjutnya, Jokowi mengangkat Menteri Koordinator (Menko) Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy sebagai Menteri Sosial Ad Interim untuk menggantikan Juliari. 

"Nanti saya akan menunjuk Menko PMK untuk menjalankan tugas Mensos," tegasnya.\

Kemungkinan Mensos dijerat hukuman mati 

Kasus suap yang menjerat Juliari ini ditanggapi oleh eks Juru Bicara KPK Febri Diansyah melalui akun Twitternya @febridiansyah. Menurutnya, keputusan komisi antirasuah menerapkan pasal suap terhadap para pelaku sudah tepat dan ancaman hukumannya juga tidak main-main yaitu seumur hidup. Hal ini sekaligus merespons pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri yang pernah menyebut, siapapun yang melakukan korupsi di tengah pandemi COVID-19 dapat dijatuhi hukuman mati.

Dalam kasus ini, sebagai penerima, Juliari disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

"Pasal suap dan 12i yang digunakan KPK dalam OTT Kemensos kemarin cukup tepat. Ancaman maksimal seumur hidup," kata Febri seperti dikutip VOI.

Dirinya tak menampik jika perundang-undangan memang mengatur soal ancaman hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi melalui Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

"Tapi hanya korupsi kerugian negara (Pasal 2) . Sedangkan OTT kemarin suap bansos COVID-19. Jenis korupsi dan pasal yang berbeda," tegasnya.

Pegiat antikorupsi ini menilai, hukuman mati bukanlah sesuatu yang mudah untuk diterapkan kepada koruptor. Lagipula, dia juga menganggap hukuman mati yang disampaikan ini hanyalah sebatas slogan tak penting untuk menunjukkan kesan serius memberantas korupsi.

"Sejak lama sudah diingatkan, KPK tidak perlu kebanyakan slogan. Bekerja saja secara konkrit. Dukunglah kerja para pegawai KPK maka lambat laun kredibilitas KPK akan kembali meningkat. Kepercayaan itu tumbuh dari konsistensi, teruslah bekerja. Buktikan dengan kinerja," ungkap Febri.

Dia memaparkan, slogan hukuman mati untuk koruptor ini kerap terjadi dalam dua kondisi yaitu, pertama hanya dalam bentuk slogan untuk menunjukkan komitmen melakukan pemberantasan korupsi meski selama ini belum ada pelaku yang menjalani hukuman semacam ini. Kedua, sebagai bentuk kemarahan terhadap para pejabat yang korup.

Selain itu, Febri justru mempertanyakan negara mana yang berhasil memberantas korupsi dengan hukuman mati bagi para pelakunya. "Menjelang hari antikorupsi sedunia, coba cari, negara mana yang berhasil berantas korupsi dengan hukuman mati," ujarnya.

Sementara pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, KPK mungkin saja menerapkan Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor. Asalkan, komisi antirasuah harus bisa membuktikan adanya kerugian keuangan negara dalam kasus yang menjerat Juliari ini.

"Misalnya, dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum dengan membuat SK penunjukan bagi perusahaan tertentu dengan menitip harga pada tiap unit bansos sejumlah sekian, sehingga merugikan keuangan negara. Dengan konstruksi tersebut dakwaan nantinya bukan hanya korupsi suap tapi juga korupsi karena merugikan keuangan negara," kata Fickar.

Sehingga, untuk memastikan terpenuhinya unsur ini, KPK harus tancap gas terutama mengejar sejumlah pembuktian yang dapat menunjukkan terjadinya kerugian negara. Lagipula, penerapan hukuman maksimal dalam Pasal 2 Ayat 2 tentang Tipikor atau hukuman mati ini dianggap perlu diterapkan di tengah bencana pandemi COVID-19. Fickar menilai, hal hukuman tersebut bisa digunakan sebagai efek jera agar kejadian semacam ini tidak lagi terjadi.

"Penerapan Pasal 2 Ayat 2 Tipikor ancaman maksimalnya hukuman mati yang jika dilakukan dalam keadaan tertentu termasuk di dalamnya keadan bencana alam nasional termasuk bencana pandemi COVID-19. Oleh karena itu untuk penjeraan, kiranya hukuman maksimal diterapkan bagi tindak korupsi yang dilakukan di masa pandemi ini," pungkasnya.