Bagikan:

JAKARTA - Dulu, untuk urusan musik, Bogor kerap dipandang sebelah mata. Ketika digaet label rekaman besar dan masuk televisi – apalagi mampu menjual album ribuan kopi – dijadikan patokan kesuksesan sebuah band, maka Bogor praktis hanya menyisakan segelintir nama. Base Jam – yang mewakili era ’90an – jadi salah satunya.

Memasuki era awal 2000-an, muncul nama-nama seperti Rasa dan Soulmate. Tapi eksistensi mereka pun tidak bertahan lama. Hilang dan tergerus zaman, seiring rontoknya label rekaman yang menaungi mereka. 

Ironisnya, stigma second city yang kerap melekat dalam tubuh Kota Hujan – menurut legenda rakyat (urband legend) – sampai memaksa band Repvblik mengubah identitas mereka menjadi 'band Sukabumi'. Lho, kok tanggung ya? Kenapa tidak sekalian mengaku band Bandung atau Jakarta saja?

Tapi itu dulu. Kini era digital datang dan media sosial berhamburan, cara promosi pun menjadi tak berbatas. Orientasi band sudah tidak lagi terjerat pada ambisi digaet label rekaman besar dan masuk televisi lokal. Tetapi lebih kepada bagaimana memperkenalkan karya mereka hingga ke seluruh arah mata angin, membentuk fanbase yang besar, dan show-nya dipenuhi penonton. 

Bagi mereka, kepuasan tidak selalu harus dinilai dengan uang. Tapi jika album dan merchandise mereka diburu para penggemar – apalagi lantas digaet label rekaman luar negeri dan manggung di sana – maka itu merupakan sebuah reward paripurna.

Era modern seperti sekarang yang menuntut setiap band untuk bisa berkreasi dan bereksplorasi – baik dari suguhan komposisi yang ditawarkan, maupun dari image atau wardrobe yang ditampilkan – juga menjadi tantangan tersendiri. Tidak sedikit band yang makin berani memadukan segala bentuk pengaruh band luar ke dalam musik dan konsep panggungnya hingga membentuk warna baru khas mereka. 

Tapi, ada juga yang terang-terangan mempertahankan warna yang diusung para idolanya dengan alasan demi menjaga substansi akar musik yang memengaruhi mereka. Untuk yang terakhir ini, biasanya muncul dari ranah metal.

Mereka juga paham apa arti eksistensi. Bukan cuma di dunia maya, tetapi juga di alam nyata. Jika dunia maya dijadikan sebagai kendaraan yang menerbangkan karya-karya mereka hingga ke mancanegara, maka alam nyata lebih kepada upaya mereka dalam membentuk komuni dan menjaga silaturahim dengan sesama musisi agar keberadaannya benar-benar diakui. 

Begitu banyak band asal Bogor yang menyedot perhatian khalayak musik Tanah Air dalam 5 tahun terakhir – baik dari karya-karyanya, maupun keberanian mereka dalam berpikir dan bersikap. 

Kita ambil contoh Tokyolite yang mengusung genre pop funk. Single Never Want (2013), EP Hello (2014), dan album penuh Avenue (2015) telah menerbangkan mereka ke kontes Asia Versus pada tahun 2013 dan festival musik internasional di Osaka, Jepang, Kansai Music Conference (2016). Mereka juga melengkapinya dengan HighLite Tour Japan 2016 di Kyoto, Fukui, Suruga, dan Tokyo dengan jadwal konser sebanyak 10 kali. 

Belum lagi single Hantu yang dirilis 2 Agustus 2019. Lagu yang bercerita tentang sebuah situasi yang dinamakan ghosting di mana seseorang tiba-tiba menghilang tanpa kabar dan alasan apapun ini menyita perhatian publik.

Lalu ada, Saptarasa yang mengejawantahkan musik dangdut lewat disiplin-disiplin musik folk, psychedelic, rock hingga blues melalui album mini perdana, Anti-Sceptist (2017). Keberadaan vokalis mereka, Dewo Iskandar, yang merupakan putera musisi dangdut kawakan, Jhonny Iskandar (Orkes Moral PMR) membuat band ini begitu bertaji. 

Kita melangkah ke Superiots (punk rock) yang melepas single baru Akan Tiba Masa Kemenangan pada Oktober kemarin. Sebelumnya, melalui album keenam, Senjata Baru (2017) – yang berisi 14 trek distortif – mereka mengemasnya dalam balutan genre yang tidak hanya terjerat pada kubangan musik punk. Ada elemen vokal gothic pada salah satu lagunya sehingga membuat album ini lebih bernyawa.

Jangan lupakan pula Kraken yang mengibarkan bendera metalcore. Macan panggung metal ini telah merilis album perdana Circle of Life pada tahun lalu. 

Terpengaruh semburan musik Lamb Of God dan Kataklysm, namun dalam proses kreatifnya setiap personel kerap menuangkan ide-ide baru sesuai referensi-referensi yang mereka serap. Dari ska, punk, reggae, djent, progressive rock hingga death metal.

Yang tak kalah penting tentu saja unit urban rock Antartick yang baru melepas album debut bertajuk The Lone White Wolf. Band ini telah melakukan sejumlah ekspedisi panggung militan di kawasan Jabodetabek sebelum COVID-19 diakui keberadaannya oleh pemerintah dan memporakporandakan semua jadwal panggung. 

Aransemen yang disajikan dalam setiap lagu dalam album debut mereka cukup beragam, namun tetap berpijak pada pondasi musik rock. Antartick mampu melakukan penetrasi ke area pendengar musik multi genre dalam payung besar rock dengan baik dan benar. 

Ya, kini Bogor menyalak lantang. Geliat band-band Kota Hujan makin menampar. Siapa pun tidak berhak menyepelekan kota yang satu ini. Sementara warganya, juga tidak ada alasan lagi untuk tidak bangga tinggal di atas tanahnya.