JAKARTA - Pemerintah tengah melakukan berbagai persiapan agar proses vaksinasi bisa dilakukan sesuai target yakni akhir 2020 atau awal 2021. Mulai dari menentukan daerah prioritas hingga menyiapkan infrastuktur data untuk menunjang pendistribusian vaksin.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyatakan dua hari mendatang, pemerintah akan memutuskan wilayah yang menjadi prioritas vaksinasi COVID-19. Keputusan itu akan didiskusikan bersama dengan pemerintah daerah (pemda).
"Tentu yang sedang kami tunggu, keputusan ini rencananya 1-2 hari ke depan. (Kami) juga ada pertemuan dengan gubernur dan wali kota untuk pastikan salah satunya apakah kami akan prioritaskan zona merah dulu, yang jelas jelas tingkat kematian dan penularan tinggi. Bisa saja kami prioritaskan zona merah dulu," tuturnya, dalam webinar, Selasa, 24 November.
Untuk memastikan proses vaksinasi bisa dilakukan sesuai target, Erick berujar pihaknya juga tengah menyiapkan sistem informasi big data yang terintegrasi. Big data ini digunakan untuk memantau pendistribusian vaksin COVID-19 di Indonesia.
Sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) 99 tahun 2020, Kementerian Kesehatan yang menjadi komando dari proses vaksinasi. Sedangkan, Kementerian BUMN akan membantu untuk mempersiapkan sistem informasi big data yang terintegrasi secara menyeluruh.
"Mengingat kebutuhan akan vaksin yang sangat tinggi namun masih terbatas, pemerintah ingin sekali memastikan perjalanan vaksinasi setransparan mungkin dan pemerintah mempersiapkan dengan sebaik-baiknya," katanya.
Pemerintah mempersiapkan sistem informasi big data ini dengan menggandeng PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) dan PT Bio Farma (Persero) sebagai agregator. Erick berujar, data yang digunakan sebagai dasar vaksinasi akan terjamin kerahasiaannya. Ia menegaskan, data tersebut milik pemerintah dan tidak ada campur tangan pihak lain.
"Kembali saya tekankan, data ini milik pemerintah. Kami dari BUMN, Telkom, Bio Farma, sebagai agregator saja untuk menjaga agar data terekam dengan baik. Jadi ini bukan milik kita, ini milik pemerintah," tuturnya.
Erick mengatakan, data-data pribadi masyarakat yang menerima vaksin akan dijaga sebaik-baiknya oleh Telkom dan Bio Farma. Karena itu, ia berani menjamin data-data pribadi tersebut tak akan disalahgunakan.
"Sebab yang namanya data pribadi itu tidak bisa jadi domain publik atau milik sebuah perusahaan, maka dari itu kerahasiaan kita jaga sejak awal dan karena itu saya tekanakan kita bantu dan data milik pemerintah," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Digital Business Telkom Indonesia Muhamad Fajrin Rasyid mengatakan, pihaknya tengah pengembangan teknologi. Salah satunya data analytics. Data ini menjadi dasar bagi sistem informasi dan satu data vaksinasi COVID-19 untuk membantu Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN).
"Sistem informasi ini dibuat untuk beberapa tujuan, salah satunya mengintegrasikan data dari berbagai sumber kementerian dan lembaga seperti BPJS kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Kementerian Kesehatan (untuk tenaga kesehatan), Disdukcapil, Kemendagri, TNI dan Polri untuk validitas penerima vaksin," tuturnya.
Menurut Fajrin, sistem ini akan menyortir data kelompok prioritas. Mulai dari siapa yang akan divaksin persisnya siapa saja, nama, dan alamatnya sudah ada. Adapun sistem ini akan digunakan baik untuk program vaksin pemerintah maupun vaksin mandiri.
"Sehingga orang yang sudah terdaftar di satu sistem enggak perlu terdaftar di sistem lain. Sehingga kita dapat mengurangi duplikasi dan juga memberikan vaksinasi kepada orang lebih tepat sasaran," ucapnya.
Fajrin berujar, ketika vaksin sudah ada, sistem informasi ini juga akan digunakan untuk memonitor pengiriman vaksin, jumlah stok vaksin dan mencocokkan dengan kebutuhan vaksin, serta teknis distribusi lainnya dengan memberikan laporan kontrol harian.
Erick Ajak Masyarakat Mampu untuk Vaksinasi Mandiri
Erick Thohir juga meminta masyarakat dari kalangan mampu untuk membeli vaksin COVID-19 secara mandiri. Sebab, vaksin pemerintah akan diberikan secara gratis hanya untuk kelompok prioritas.
Adapun yang masuk ke dalam kelompok prioritas adalah tenaga medis, TNI, Polri, dan mayarakat miskin yang terdata di BPJS Kesehatan. Karena itu, masyarakat yang tidak masuk kelompok ini dapat melakukan vaksinasi secara mandiri dengan membeli sendiri atas kemauannya.
Kontribusi kelompok masyarakat mampu untuk melakukan vaksinasi mandiri sangat besar terhadap negara. Sebab, kata Erick, hal ini dapat meringankan pemerintah dalam mengeluarkan dana untuk program vaksinasi COVID-19. Apalagi, mengingat besarnya jumlah penduduk Indonesia.
"Ini kontribusi yang tidak kalah pentingnya karena jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar. Tentu kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan lebih seyogyanya membantu pemerintah dengan membayar vaksin sendiri," ujarnya.
Ke depan, Erick ingin perjalanan vaksinasi terbuka untuk semua dan menarik segala masukan. Karena itu sejak awal pemerintah terus melakukan sosialisasi juga bertemu dengan para pakar. "Ini adalah faktor terpenting dalam penanganan COVID-19, yaitu penyelamatan manusia," katanya.
Vaksin COVID-19, kata Erick, menjadi salah satu upaya pemerintah untuk mengendalikan pandemi di Tanah Air. Ia berharap dengan vaksinasi, pemerintah bisa menekan penularan dan angka kematian. Karena itu, ia memastikan pemerintah akan mempersiapkan vaksinasi sebaik-baiknya.
Pemerintah tetap akan memprioritaskan pemberian vaksin kepada penduduk usia 18 hingga 59 tahun. Pertimbangannya, sesuai dengan usia yang diujicobakan. Namun, kata Erick, ke depan kebijakan itu akan berubah sesuai dengan perkembangan penggunaan vaksin.
"Kementerian Kesehatan tentu kan tidak satu macam vaksin, tidak Sinovac saja, bisa saja ada tambahan 1-2 vaksin lagi jadi jumlahnya 3. Ketika bicara merek beda misalnya X dan Y di luar Sinovac, tentu nanti usia rentan bisa saja di atas 59 tahun, Sinovac dengan pengembangan nanti bisa di atas 18 hingga 59 tahun," katanya.
Berdasarkan sejumlah riset terakhir, kata Erick, sebanyak 66 persen responden mengaku sangat ingin disuntik vaksin COVID-19. Sedangkan, sisanya mengaku tidak ingin mendapatkan vaksin.
"Ada 16 persen yang tidak mau vaksin tentu juga kami tidak paksakan yang 16 persen tidak mau divaksin. Tidak tahu alasannya apa," jelasnya.