Bagikan:

JAKARTA - Nasib kurang mujur dialami salah satu perusahaan properti, yakni PT Sentul City Tbk. Di tengah lesunya industri properti dan pandemi COVID-19 yang belum berkesudahan, mereka dua kali digugat oleh konsumennya di tahun 2020 ini.

Tidak hanya itu, pengelola kawasan properti di Sentul ini juga mengalami kinerja yang kurang memuaskan di tahun ini. Perseroan tercatat menderita kerugian yang cukup besar.

Berdasarkan laporan keuangan Sentul City semester I 2020, emiten berkode saham BKSL ini mencatatkan pendapatan sebesar Rp159,3 miliar. Capaian tersebut anjlok 59,18 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp390,34 miliar.

Turunnya pendapatan Sentul City disebabkan akibat pos penjualan lahan siap bangun, rumah hunian, ruko, dan apartemen mencatatkan penurunan signifikan menjadi Rp75,54 miliar dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp307,92 miliar.

Pada pos pengelolaan kota, Sentul City juga mencatatkan penurunan menjadi Rp38,08 miliar dari Rp45,41 miliar. Hanya pos hotel, restoran, dan taman hiburan yang mencatatkan pertumbuhan 23,39 persen menjadi Rp45,67 miliar.

Alhasil, pada semester I 2020 Sentul City mencatatkan rugi bersih sebesar Rp234,49 miliar. Padahal di semester I 2019, mereka masih mencatatkan laba bersih sebesar Rp41,92 miliar.

Digugat Keluarga Bintoro

Gugatan pertama dari konsumen Sentul City berasal dari Keluarga Bintoro melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) tertanggal Jumat 7 Agustus 2020. Permohonan pernyataan pailit bernomor perkara 35/Pdt.Sus-Pailit/2020/PN Niaga Jkt.Pst.

Gugatan ini diajukan atas nama Ang Andi Bintoro, Linda Karnadi, Meilyana Bintoro, Jimmy Bintoro, Silviana Bintoro, Denny Bintoro. Sentul City sudah menjelaskan latar belakang perseroan digugat pailit oleh keluarga Bintoro, yakni terjadi awalnya karena Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan objek kavling matang di Jl Adora Drive No. 15, Cluster Habiture, Sentul City, Bogor.

Kavling matang itu sebelumnya akan diserahterimakan sesuai surat undangan serah terima masing-masing tanggal 18 Maret 2014 dan 20 Agustus 2014. Namun menurut pihak perusahaan, keluarga Bintoro tidak memenuhinya.

Sesuai dengan PPJB, pihak pemohon pailit sudah menyerahkan uang ke perusahaan sebesar Rp29.319.000.000. Penyerahan uang itu dengan ketentuan mengenai kewajiban pembeli untuk membangun kavling matang tersebut.

Atas dasar perkara itu pihak Sentul City merasa tidak memiliki utang kepada pihak pembeli yang menjadi pemohon pailit tersebut. Sebab uang yang sudah diserahkan untuk membeli kavling matang tersebut.

Sebagai informasi, keluarga Bintoro merupakan pemilik PT Olympindo Multifinance yang sejak April 2018 berganti nama menjadi PT Jtrust Olympindo Multi Finance (JTO Finance). Pergantian nama ini terjadi setelah JTrust Asia Pte. Ltd. mengakuisisi 60 persen saham perusahaan.

Berdasarkan informasi di laman resmi perusahaan, Ang Andi Bintoro menjabat sebagai komisaris utama JTO Finance, sedangkan Jimmy Bintoro menjabat sebagai komisaris, dan Meilyana Bintoro menduduki posisi wakil direktur utama.

Bisnis utama perusahaan antara lain pembiayaan kendaraan bermotor baik baru maupun bekas, pembiayaan alat-alat pertanian, pembiayaan peralatan dan mesin lainnya, pembiayaan tanah dan bangunan serta modal kerja, dan pembiayaan lainnya baik untuk tujuan produktif maupun konsumtif.

Digugat Alfian Tito

Adapun gugatan kedua yang menimpa Sentul City berasal dari konsumen bernama Alfian Tito Suryansyah yang mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

PKPU tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat tanggal 13 November 2020 dengan Nomor Perkara 387/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt.Pst. Kuasa hukum pemohon dalam gugatan ini adalah Salim The Atmaja, S.H dan Sentul City sebagai termohon.

Pasar Ah Poong di kawasan Bukit Sentul. (Foto: Sentul City)

"Menerima dan mengabulkan Permohonan PEMOHON PKPU untuk seluruhnya; Menyatakan TERMOHON PKPU/PT. SENTUL CITY, Tbk dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) untuk paling lama 45 (empat puluh lima) hari terhitung sejak putusan diucapkan," bunyi petitum dari surat Klasifikasi Perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Gugatan ini dilancarkan karena Sentul City belum menyerahterimakan tanah dan bangunan kepada pemohon PKPU, yakni Alfian Tito Suryansyah. Alfian merupakan pembeli tanah dan bangunan dari Sentul City.

Hakim dari Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah ditunjuk menjadi Hakim Pengawas untuk mengawasi proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), di antaranya Rony Purwanto Purba, Rafshahdy Azari Soediro, dan Yopi Gunawan sebagai Kurator dan Pengurus yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

"Untuk bertindak selaku Tim Pengurus dalam hal termohon PKPU dinyatakan dalam PKPU Sementara atau mengangkat sebagai Tim Kurator dalam hal termohon PKPU dinyatakan dalam keadaan Pailit, menghukum termohon PKPU untuk membayar seluruh biaya perkara ini," bunyi keterangan tersebut.

Pihak Sentul City pun buka suara mengenai gugatan pailit tersebut. Dalam penjelasan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), Direktur Utama Sentul City Tjetje Muljanto, dan Direktur Sentul City Iwan Budiharsana, menjelaskan, benar bahwa terdapat permohonan PKPU terhadap perusahaan.

"Latar belakang perseroan dimohonkan PKPU adalah karena perseroan (Termohon PKPU) selaku penjual tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Gunung Kelimutu Nomor 78 belum menyerahterimakan tanah dan bangunan kepada (Pemohon PKPU) selaku pembeli tanah dan bangunan," tulis keduanya dalam surat jawaban kepada BEI, dikutip Rabu 25 November.

Dalam surat itu, disebutkan Pemohon PKPU (Alfian) telah membeli tanah dan bangunan di Jalan Gunung Kelimutu Nomor 78, Cluster Green Mountain, Sentul City, dengan luas 81 meter persegi berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli No. 0090/GMT/PPJBTB/SC/III/2015 pada 6 Maret 2015.

Besaran harga pembelianRp 901,735.020 juta. Seharusnya serah terima tanah dan bangunan dilaksanakan pada 31 Mei 2017. Namun, sampai dengan saat ini Sentul City belum melakukan serah terima kepada pembeli tersebut atau Pemohon PKPU.

Meski demikian, manajemen Sentul City menegaskan bahwa nilai tersebut tidak berdampak material terhadap kelangsungan usaha dan aktivitas operasional. Adapun upaya-upaya untuk menyelesaikan permasalahan dengan pihak Pemohon PKPU ialah mengajak pemohon PKPU bermusyawarah dan mencari jalan keluar terbaik untuk para pihak.

Sentul City menyatakan sumber dana dan mekanisme untuk pelaksanaan pembayaran kepada Pemohon PKPU, bilamana disepakati ialah diambil dari dana kas perusahaan.

Kinerja Saham

Setelah digugat keluarga Bintoro, Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan sementara atau suspensi saham PT Sentul City Tbk (BKSL) pada 10 Agustus 2020. Namun kemudian pada 12 Agustus 2020, BEI memutuskan untuk melakukan pencabutan penghentian sementara perdagangan efek BKSL di seluruh pasar sejak sesi I perdagangan efek.

Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Keputusan itu merujuk pada Pengumuman Bursa No. Peng-SPT-00007/BEI.PP1/08-2020 tanggal 10 Agustus 2020 perihal Penghentian Sementara Perdagangan Efek PT Sentul City Tbk.; dan Surat Sentul City No. 65/SC-CS/VIII/2020 tanggal 11 Agustus 2020 perihal Penjelasan Atas Permintaan Penjelasan Bursa Efek Indonesia. 

Meski demikian, harga saham BKSL masih mentok di angka Rp50 per saham. Berdasarkan penelusuran, harga saham BKSL di angka Rp50 per saham itu sudah terjadi sejak 25 Februari 2020.

Pada awal Juni harga saham BKSL sempat bergerak naik ke Rp 54 per saham. Namun hingga artikel ini dibuat, saham Sentul City tak berancap dari level gocap.

Sebagai informasi, saham Sentul City sendiri sempat menyentuh level tertingginya 2007 silam di harga Rp800 per saham sebelum dihantam krisis finansial global pada 2008. Perusahaan yang sudah melantai di BEI sejak 1997 ini bahkan tidak mampu naik kembali ke level Rp400 per lembar saham dan cenderung diperdagangkan di harga sekitar Rp100 per lembar saham sepanjang perjalanannya.