Menanti Gelar Perkara Pelanggaran Prokes Kerumunan Rizieq yang Tertunda
Acara pernikahan putri Rizieq Shihab sekaligus Maulid Nabi Muhammad SAW di Jakarta (tangkapan layar YouTube channel Front TV)

Bagikan:

JAKARTA - Polisi membatalkan lagi rencana gelar perkara penyelidikan dugaan pelanggaran protokol kesehatan (Prokes) saat pernikahan putri Rizieq Shihab di Petamburan, Jakarta Pusat dan peletakan batu pertama pembangunan pondok pesantren di Megamendung, Jawa Barat.

Dengan pembatalan kedua kalinya ini, polisi belum memastikan lagi jadwal gelar perkara kasus tersebut. Gelar pekara ini merupakan langkah penting dalam proses hukum untuk menetukan layak tidaknya suatu perkara naik ke penyidikan.

Ketika diputuskan naik ke tingkat penyidikan, maka polisi bakal menetapkan tersangka atas kasus dugaan pelanggran protokol kesehatan tersebut.

Gelar perkara pertama kasus ini, Polda Metro Jaya merencanakannya dilakukan pada 20 November. Tapi polisi tiba-tiba membatalkannya dengan alasan terbentur kegiatan pelantikan Kapolda Metro Jaya.

"Rencana Kamis Jumat ini, tapi ada kegiatan mutasi kapolda ada serah terima di Mabes dan Polda Metro dengan kesibukannya, maka ketunda," ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono kepada wartawan, Jumat, 20 November.

Tak lama kemudian, polisi kembali merencakan malakukan gelar perkara pada Senin, 23 November. Tapi lagi-lagi rencana itu dibatalkan dengan alasan tim penyelidik masih meminta keterangan beberapa saksi. Sedianya, Wakil Gubernur DKI Jakarta Riza Patria dan perwakilan dari Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang dimintai keterangan soal perkara dugaan pelanggaran protokol kesehatan di hari itu.

Namun, masih ada beberapa pihak yang tak hadir dalam undangan klarifikasi. Misalnya, Syarifah Najwa Shihab dan Muhammad Irfan Alaydrus, anak dan menantu Rizieq Shihab. Ketidakhadiran mereka dengan alasan sedang disibukan kegiatan lain.

"Untuk saat ini, terkait gelar perkara memang belum dilaksanakan baik itu di Polda Metro Jaya maupun di Polda Jawa Barat," ungkap Awi.

Sementara, kasus serupa yang Polda Jawa Barat juga terkendala. Penyelidik Polda Jawa Barat membatalkan rencana gelar perkara kerena bakal meminta keterangan ahli epidemiologi dan perwakilan dari pondok pesantren pada Selasa, 24 November.

Selain itu, Bupati Bogor Ade Yasin yang rencanya bakal dimintai keterangan untuk kasus ini, terkonfirmasi terpapar COVID-19. Penyelidik menunggu kesehatan Ade membaik baru melakukan pemeriksaan.

"Salah satunya Bupati Bogor yang terkonfirmasi positif COVID sehingga penyidik menjadwalkan ulang untuk mengundang 3 orang lainnya yang belum hadir besok rencananya," kata Awi.

Tapi, ketidakhadiran sejumlah pihak dalam undangan klarifikasi tak menjadi masalah serius bagi penyelidik. Sebab, masih ada metode lain untuk mendapatkan alat bukti dan mencari ada tidaknya pelanggaran pidana.

Selain itu, klarifikasi juga hanya untuk memperkuat dan mencocokan keterangan antara saksi satu dengan saksi lainnya.

"Kita untuk memperkuat itu wajar polisi itu akan mencari kesesuaian pemeriksaan yang satu dan lainnya," kata Awi.

Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Arthur Josias Simon berpendapat, polisi bisa menggunakan metode lain untuk mengumpulkan alat bukti tanpa melalui proses klarifikasi saksi.

Setidaknya ada dua cara, yakni mengumpulkan dokumen atau surat yang berkaitan dengan acara dan keterangan ahli. Dengan begitu, polisi bisa menilai ada tidaknya pelanggraan pidana.

"Surat-surat tentang kegiatan yang dimaksud atau surat izin misalnya. Kemudian, keterangan ahli yang bisa menjadi faktor yang memperkuat," kata dia.

Bahkan, dengan menggunakan dokumen atau surat itu polisi bisa menetapkan tersangka. Tapi dengan catatan tetap didukung dengan alat bukti lainnya seperti keterangan mininal dua saksi.

"Bisa, bahkan menentukan siapa (tersangka) kalo cukup bukti tapi ini untuk tahap lebih jauh yaitu penyidikan," kata dia.