Polemik Acara Rizieq yang Berujung Perintah Jokowi Tegur Kepala Daerah yang Lalai, Cukupkah?
Presiden Joko Widodo (Foto: Twitter @jokowi)

Bagikan:

JAKARTA - Kerumunan di acara pernikahan anak perempuan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) sekaligus acara peringatan Maulid Nabi menjadi perhatian pemerintah pusat.

Presiden Joko Widodo bahkan menggelar rapat terbatas bersama jajaran kementerian dan kepala lembaga tinggi negara pada Senin, 16 November. Rapat tersebut digelar tertutup. Namun, pernyataan Jokowi usai rapat memberi sinyal bahwa ia kesal dengan kerumunan di Petamburan karena kekhawatiran atas lonjakan kasus COVID-19.

"Saya juga minta kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk mengingatkan, kalau perlu menegur kepala daerah baik gubernur, bupati, maupun wali kota untuk bisa memberikan contoh-contoh yang baik kepada masyarakat. Jangan malah ikut berkerumun," kata Jokowi.

"Jadi jangan hanya sekadar imbauan tapi harus diikuti dengan pengawasan dan penegakan aturan secara konkrit di lapangan," katanya.

Setelah rapat terbatas bertajuk laporan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) itu, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memberikan teguran kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melalui konferensi pers. 

Dalam konferensi persnya, Mahfud MD didampingi Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Wakapolri Komjen Pol Gatot Edhy Pramono, Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Budi Gunawan, dan Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Doni Monardo. Mahfud menyatakan, acara pernikahan dan peringatan Maulid Nabi yang digelar Rizieq Shihab di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat pada Sabtu, 14 November adalah bentuk dari pelanggaran protokol kesehatan di tengah pandemi COVID-19.

"Pemerintah menyesalkan terjadinya pelanggaran protokol kesehatan pada pelaksanaan pesta pernikahan dan peringatan Maulid Nabi SAW di Petamburan, Jakarta Pusat," kata Mahfud dalam konferensi pers di kantornya Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin, 16 November.

Eks Ketua Mahkamah Konstitusi ini menegaskan, pemerintah pusat bukannya menutup mata terhadap adanya kerumunan yang berujung pada pelanggaran tersebut. Kata dia, pihaknya sebenarnya telah mengingatkan kepada Gubernur DKI Jakarta yang dianggap lebih berwenang untuk mengurusi masalah tersebut sesuai hirarki dan aturan perundangan.

"Pemerintah sebenarnya telah memperingatkan Gubernur DKI Jakarta untuk meminta penyelenggara mematuhi protokol kesehatan," tegas Mahfud.

"Penegakan protokol kesehatan di ibu kota, sekali lagi penegakan hukum di ibu kota merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berdasarkan hirarki kewenangan dan peraturan perundangan," imbuhnya.  

Teguran dianggap belum cukup

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti atau yang biasa dipanggil Puput menilai, sepatutnya pemerintah memberikan teguran semacam ini. Presiden Jokowi sudah dianggap tepat untuk memerintahkan Mendagri Tito Karnavian untuk menegur siapapun kepala daerah yang melanggar aturan protokol kesehatan di tengah pandemi COVID-19 ini tanpa terkecuali.

Menurutnya, dengan memberikan teguran dan perintah semacam ini, pemerintah pusat telah memberikan pesan mereka memiliki perhatian yang serius terhadap pencegahan penyebaran COVID-19. Hal ini juga berlaku bagi pencopotan dua petinggi Polri yaitu Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana dan Kapolda Jawa Barat Irjen Rudi Sufahriadi yang diduga karena berkaitan dengan terjadinya kerumunan di Petamburan, Jakarta dan Megamendung, Jawa Barat beberapa waktu lalu.

Hal-hal tersebut, dinilai Puput memang dapat menimbulkan efek jera. Tapi dia mengingatkan, perlu lagi untuk melihat apa yang terjadi setelah teguran dan pencopotan ini dilakukan. 

"Terpenting adalah tindak lanjutnya ke depan. Misalnya, apakah Kapolda baru nanti akan lebih tegas mencegah, melarang, dan menindak pelanggar protokol COVID-19 tanpa pandang bulu? Kemudian apakah Mendagri juga akan memberikan teguran keras bagi kepala daerah yang secara spesifik melanggar. Apa tindakan tegas mereka," kata Puput saat dihubungi VOI.

Jika tak ada tindakan tegas ke depan, bukan tak mungkin publik kemudian kembali menganggap remeh ketegasan ini. Sehingga, perlu bagi pemerintah untuk benar-benar membuktikan komitmen mereka ke depan.

"Kalau kemudian pemerintah benar-benar tegas dan bukan hanya gertak sambal, saya kira publik akan mengapresiasi dan lebih menilai serius pentingnya protokol kesehatan pencegahan COVID-19," tegasnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin mengatakan, pemerintah tak boleh hanya berpuas pada pemberian teguran terhadap kepala daerah seperti yang diperintahkan Jokowi kepada Tito.

Menurutnya, pemerintah perlu memberikan sanksi kepada mereka yang melanggar protokol kesehatan tanpa kecuali termasuk kepala daerah.

"Jangan hanya berani menegur saja tapi juga harus memberikan sanksi. Harus tegas, harus tuntas, dengan sanksi yang tak pandang bulu," pungkasnya.