Celaka di Balik Pekerja Seks yang Tabu
Julia Roberts berperan sebagai PSK dalam film Pretty Woman (Sumber: IMDB)

Bagikan:

JAKARTA - Pekerja seks komersial adalah salah satu pekerjaan paling tua di dunia. Bagi kontur budaya tertentu, keberadaannya selalu kontroversial. Di Indonesia, misalnya. Benturan dengan norma jadi abadi. Para pekerja seks adalah terdakwa tak tergantikan dalam pengadilan sosial. Lebih parah lagi, sebab kriminalisasi pekerja seks justru berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam konteks kesehatan dan ekonomi. Dilema tiada akhir.

Pada 2015, Amnesty International menyerukan dekriminalisasi pekerja seks sebagai cara terbaik untuk membela pekerja seks dari pelanggaran hak asasi manusia,yang lebih penting lagi: pengucilan dari perawatan kesehatan. Penelitian dari Lancet juga mengklaim dekriminalisasi pekerja seks berdampak besar pada meluasnya infeksi menular seksual (IMS) di antara pekerja seks, bahkan seluruh populasi. Kriminalisasi juga disebut-sebut memperluas penyebaran epidemi HIV.

Sebuah tim peneliti yang berasal dari University of Melbourne, George Washington University, dan UCLA meneliti dampak dekriminalisasi pasar seks di negara-negara berpenghasilan tinggi. Meski sebelumnya menemukan bahwa dekriminalisasi pekerja seks berdampak positif pada kesehatan pekerja seks, namun masih tidak jelas apakah kriminalisasi pekerja seks ini juga berefek pada negara-negara berpenghasilan rendah. Penelitian pun diperluas.

Para peneliti membuat analisis dampak kriminalisasi pekerja seks di lingkungan berpenghasilan rendah. Di negara-negara itu, partisipasi wanita di pasar seks diketahui lebih tinggi. Hal itu juga mendorong keberlangsungan epidemi HIV. Di Indonesia, penelitian dilakukan di sebuah kabupaten di Malang, Jawa Timur.

Dampak kesehatan

Pada 2014 pemerintah mengumumkan menutup semua lokalisasi pekerja seks. Para peneliti meneliti dampak penutupan lokalisasi dengan membandingkan apa yang terjadi di kabupaten di mana pekerja seks dikriminalisasi dengan kabupaten tetangga, di mana pekerja seks tetap legal dan bisnis tetap berjalan seperti biasa.

Para peneliti memeriksa dampak penutupan lokalisasi terhadap pekerja seks, kliennya, dan keluarganya. Setelah dilakukan berbagai penelitian, dampak langsung dari kriminalisasi tersebut terbukti dengan menyusutnya pasar seks. Jumlah pekerja seks yang bekerja di tempat-tempat yang dikriminalisasi menurun tajam antara September 2014 dan Mei-Juni 2015. Penurunan yang sama tidak terlihat di daerah non-kriminalisasi pasar seks.

Namun, di sisi lain, terdapat peningkatan angka IMS. Hasil tes menunjukkan bahwa angka IMS di kalangan pekerja seks meningkat 27,3 poin persentase atau 58 persen dibandingkan dengan wilayah di mana pekerja seks tidak dikriminalkan. Hal ini merupakan peningkatan yang besar.

"Data dari pekerja seks dan pelanggan menunjukkan bahwa hal ini didorong oleh akses yang lebih rendah untuk mendapatkan kondom, kenaikan harga kondom, dan peningkatan hubungan seks non-kondom." kata penelitian tersebut, dikutip dari Voxdev.org

Penularan penyakit bukan hanya menjadi risiko dari pekerja seks itu sendiri, namun juga masyarakat luas. IMS dari pekerja seks tertular ke pengguna jasa dan ke pasangan keduanya.

"Dalam jangka panjang, peningkatan prevalensi IMS di kalangan pekerja seks perempuan menyiratkan peningkatan kemungkinan penularan IMS ke populasi umum antara 22 persen dan 59,3 persen untuk laki-laki, antara 13,6 persen dan 48,3 persen untuk perempuan, tergantung pada asumsi tentang perubahan ukuran pasar," katanya. 

Sementara, ukuran pasar seks menyusut sekitar 60 persen dalam jangka pendek, menurunkan kemungkinan penularan IMS ke populasi orang dewasa secara umum. Namun lima tahun kemudian pasar seks kembali pulih ke ukuran yang sama dengan sebelum kriminalisasi.

Dampak ekonomi

Selain sisi kesehatan, ditutupnya lokalisasi juga berdampak pada kesejahteraan ekonomi para pekerja seks. Kriminalisasi pekerja seks seringkali dirancang untuk memaksa perempuan keluar dari dunia tersebut.

Para pekerja seks yang berhenti secara terpaksa akhirnya menggeluti penghasilan yang lebih rendah dan lebih sulit, hal yang berdampak pada kemampuan mereka menyekolahkan anak-anaknya. Dampak lebih panjang, anak-anak harus bekerja untuk menambah pendapatan rumah tangga.

Sejauh ini ukuran pasar seks di Indonesia mungkin lebih kecil daripada jika tidak ada kriminalisasi. Hal tersebut memunculkan asumsi bahwa kriminalisasi telah berhasil.

Namun, dari perspektif kesehatan masyarakat, kriminalisasi pekerja seks justru berdampak buruk pada upaya banyak departemen kesehatan pemerintah dan LSM untuk mengurangi penyebaran IMS dan HIV/AIDS. Penutupan atau kriminalisasi lokalisasi membatasi kemampuan organisasi untuk mendukung kesehatan pekerja seks.

Selain itu, kriminalisasi juga menghambat kemampuan para pekerja seks untuk mengakses dukungan dan layanan secara terbuka.