JAKARTA - Karena pandemi COVID-19, festival film harus berganti format menjadi online. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Sejumlah festival film harus menayangkan berbagai film lewat daring.
Memasuki bulan kedelapan pandemi, sebuah adaptasi dilakukan agar sejumlah acara bisa berjalan lancar. Tidak terkecuali festival film. Penyelenggara berbondong-bondong menggelarnya secara online.
We Are One: A Global Film Festival adalah salah satu festival film online yang menayangkan film dari 20 festival global dan ditayangkan secara gratis.
Pada bulan Oktober, jaringan bioskop CGV memindahkan Korea Indonesia Film Festival (KIFF) 2020 dengan format online. Mereka bekerja sama dengan layanan streaming GoPlay Indonesia untuk menayangkan film Korea dan Indonesia yang sebelumnya pernah ditayangkan di bioskop.
Begitu juga festival film yang terbaru, Europe on Screen 2020 yang mengadopsi format serupa akibat pandemi. Dalam versi fisiknya, festival ini menayangkan lebih dari 80 film asal Eropa. Tetapi kali ini mereka harus mengurangi kuantitasnya menjadi 40 film saja.
Tantangan untuk Transisi
Hilangnya audiens menjadi salah satu tantangan besar karena konsep festival film sendiri adalah mempertemukan audiens dengan pegiat film untuk bertukar pikiran dan pendapat.
Unsur ini tidak sepenuhnya menghilang karena tidak sedikit festival yang akhirnya membuat webinar dan sesi tanya jawab lewat daring. Tetapi, di sisi lain, keintiman antara pegiat film dan audiens secara emosional berubah karena hanya dilakukan melalui layar internet.
Dari segi acara, festival film yang menjadi salah satu aspek budaya juga menjadi terbatas mengingat acara ini lebih dari sekadar menayangkan film. Festival ini juga menjadi ajang lokakarya, kompetisi, dan pasar untuk menemukan produksi dan koneksi baru.
BACA JUGA:
Selain itu, pembajakan film akan semakin berkembang mengingat film yang ditayangkan biasanya eksklusif atau pertama kali ditayangkan di festival tersebut. Saat ini, para penyelenggara sudah mengakali dengan menambahkan kode unik atau membatasi penayangan (viewing window) untuk beberapa jam sejak tiket dibeli.
Jika penonton belum sempat menonton, mereka tidak bisa membeli tiket baru mengingat jadwal festival film selalu berubah.
Sejatinya, pembajakan memang terus berlangsung dan berkembang. Untuk mengatasinya, sineas dan penonton harus memahami beberapa prinsip. Mereka yang menggemari film pasti tahu cara menghargai sebuah film dan salah satu caranya dengan menonton secara legal.
Selain itu, penyelenggara festival film juga meningkatkan keamanan di internet agar pembajakan bisa dihentikan.
"Menayangkan film pertama kali secara digital bukan sesuatu yang disenangi para pegiat film. Kalian bisa meyakinkan mereka sebanyak yang kalian mau tetapi, cukup cari film di mesin pencarian dan kalian akan menemukannya," kata Paul Jun, CEO Filmocracy dilansir dari Digital Trends pada Senin, 16 November.
Sisi Positif
Namun jika melihat sisi positifnya, festival film yang digelar secara online bisa menjangkau lebih banyak audiens baru yang tidak bisa menghadiri acara fisiknya. Karena biasanya, festival film hanya diadakan di kota-kota besar.
Dengan ini, masyarakat bisa memperluas pilihan film dengan bebas di luar dari apa yang ditayangkan di bioskop. Cara ini juga dapat memberi informasi kepada sineas bahwa karya mereka disaksikan dari berbagai daerah selain kota besar di Indonesia.
Selain itu, interaksi antara pegiat film dengan penonton bisa dilakukan secara spesifik. Webinar dan sesi wawancara yang dilakukan bisa mempertemukan dua pihak dan dan saling berkomunikasi.
Tidak lupa efisiensi waktu juga menjadi poin penting dari festival film online. Sesuai dengan syarat festival film online, penonton bisa memilih waktu untuk membeli tiket dan menonton sesuai jadwal yang mereka inginkan tanpa menghabiskan waktu untuk menunggu tersedianya tiket atau jadwal film tersedia.
Formatnya mungkin berganti tetapi festival film tidak sepenuhnya hilang makna karena ada banyak hal baru yang dieksplorasi dari digelarnya festival film secara online.