Komodo di Nusantara: Ditemukan Penjelajah Eropa, Diteliti Ilmuwan Belanda, Dikonservasi Soeharto, Menghadang Truk di Era Jokowi
Komodo menghadang truk pengangkut konstruksi Jurassic Park di Taman Nasional Komodo, NTT (Instagram/@gregoriusafioma)

Bagikan:

JAKARTA - Sebuah foto viral menunjukkan seekor komodo berhadap-hadapan dengan truk pengangkut bahan konstruksi di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Semua sadar habitat komodo terancam. Tapi tak semua bersedia sadar proyek Jurassic Park di Pulau Rinca adalah salah satu proyek paling ugal-ugalan pemerintah. Padahal, jelas dalam sejarah, Taman Nasional Komodo didirikan untuk kepentingan konservasi, bukan investasi.

Bahan konstruksi di punggung truk adalah 'benih pembangunan' Jurassic Park. Komodo yang menghadang di muka truk adalah penghuni yang sadar kediamannya akan direbut dan dirusak. Tak perlu penerjemah bahasa reptil untuk menafsirkan foto tersebut. Semua satu suara, pembangunan ini adalah ancaman bagi komodo. Daya rusak proyek bahkan sudah dapat dirasakan hari ini.

Akun Twitter @KawanBaikKomodo menulis: Sedih! Komodo berhadap-hadapan dengan truk proyek bangunan wisata ‘Jurassic Park’ di Pulau Rinca. Untuk pertama kalinya komodo-komodo ini mendengar deru mesin-mesin mobil dan menghirup bau asapnya. Akan seperti apa dampak proyek-proyek ini ke depannya? Masih adakah yang peduli dengan konservasi?

Sebelumnya, foto itu diunggah lebih dulu oleh akun Instagram @gregoriusafioma. Beberapa penekanan ia utarakan dalam deskripsi foto. "Ini benar-benar gila ...," katanya. "... mereka tidak menyadari bahwa kawasan ini telah melewati sejarah yang sangat panjang dan melibatkan narasi-narasi pengorbanan dari berbagai pihak," tambahnya. "Jokowi sendiri mungkin tak banyak paham tentang konservasi komodo jika hanya mengandalkan satu-dua kali kunjungan saja."

Narasi-narasi di atas tak berlebihan. Proyek Jurassic Park ini memang gila. Wakil Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Nasional Edo Rakhman bahkan menyebut proyek yang diinisiasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini sebagai langkah brutal dan ugal-ugalan.

“Fakta itu menggambarkan bahwa pembangunan itu dilakukan secara brutal dan ugal-ugalan, seakan-akan (pemerintah) tidak memperhitungkan kondisi itu terjadi. Kemunculan satwa Komodo berhadap-hadapan dengan truk itu menunjukkan habitat mereka terganggu,” ungkap Edo saat dihubungi VOI, Senin, 26 Oktober.

Ketika satwa langka bernama latin varanus komodoensis itu sudah berani muncul di tengah banyak orang, bahkan menghadapi sebua truk --yang mana bukan kebiasaan mereka, itu artinya habitat komodo benar-benar terganggu dan terancam, baik itu dalam bentuk pembukaan lahan, kebisingan atau karena rantai makanan komodo telah putus. Maka, tak ada penafsiran lain bahwa yang sekarang terjadi di Pulau Rinca adalah gambaran intervensi pemerintah terhadap ekosistem komodo.

Selain itu, proyek ini juga mengancam pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal yang dibangun berdasarkan kebiasaan dan kearifan setempat. Skema penataan ekslusif yang pengelolaannya diserahkan kepada swasta akan membawa dominasi atau monopoli ekonomi oleh para pemodal. Padahal, sudah sejak lama warga lokal mengais rezeki dengan menjadi pengrajin, pengusaha souvenir, dan penyedia jasa homestay.

Dengan segala kondisi itu, hanya ada satu cara untuk memulihkan kembali ekosistem di sekitar Pulau Komodo ataupun Pulau Rinca: menghentikan proyek itu. Tak ada cara lain, kata Edo. “Satu-satunya jalan adalah menghentikan proyek tersebut dan memulihkan kembali ekosistem dan habitat Komodo di pulau tersebut.”

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melempar rilis pers atas nama Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK Wiratno. Rilis itu menjelaskan bahwa Pulau Rinca memiliki lahan seluas 200 kilometer persegi (20ribu hektare). Sementara, luas Lembah Loh Buaya --yang akan jadi lokasi pembangunan Jurassic Park adalah 5 kilometer persegi (500 hektare) atau 2,5 persen dari luas Pulau Rinca.

Rilis itu juga memaparkan estimasi populasi komodo di Pulau Rinca tahun 2019 yang diperkirakan ada 1.300 ekor. Sementara, populasi komodo di Lembah Loh Buaya adalah 5 persen dari populasi di Pulau Rinca atau sekitar 66 ekor. Kementerian LHK mengatakan populasi komodo di Lembah Loh Buaya selama 17 tahun terakhir relatif stabil dengan sedikit peningkatan di lima tahun terakhir.

“Jumlah komodo yang sering berkeliaran di sekitar area pembangunan sarana dan prasarana di Loh Buaya diperkirakan kurang dari kurang lebih 15 ekor dan komodo tersebut setiap pagi memiliki perilaku berjemur,” kata Wiratno, dikutip Minggu, 25 Oktober.

Keberadaan komodo di Taman Nasional Komodo (Sumber: Wikimedia Commons)

Rilis pers Kementerian LHK juga mengklaim aktivitas pembangunan pariwisata selama ini hanya memberi sedikit pengaruh pada perilaku komodo, di mana komodo jadi lebih berani atau jadi lebih menghindari manusia dalam beberapa temuan. Meski begitu, pembangunan, kata Kementerian LHK tidak memengaruhi kemampuan bertahan hidup mereka.

Katanya, hal itu dapat dibuktikan dengan tren populasi yang tetap stabil di lokasi wisata Loh Buaya. Rilis itu juga mengatakan, apabila dikontrol dengan baik dan memastikan minimnya kontak wisatawan dengan satwa, maka aktivitas wisata pada kondisi saat ini dinilai tak membahayakan populasi komodo.

“Pada saat pandemi, pengunjung di Pulau Rinca ±150 orang perbulan atau 10–15 orang per hari. Dalam pembangunan sarana dan prasarana telah dilaksanakan protokol untuk mencegah dampak negatif dari pembangunan sarana dan prasarana tersebut terhadap satwa komodo yang diawasi oleh 5–10 ranger."

Lalu, apa tugas pengawasan ranger yang dimaksud Kementerian LHK? Tugasnya adalah memeriksa keberadaan komodo, termasuk di kolong-kolong bangunan, bekas bangunan, atau di kolong truk pengangkut material, menurut rilis. Sampai saat ini progres pembangunan telah berjalan 30 persen dan akan selesai pada Juni 2021, baik itu sarana dan prasarana, termasuk pembangunan dermaga baru di Pulau Rinca. Lantas, apa penjelasan Kementerian LHK mengenai foto viral komodo menghadang truk?

“Terkait dengan foto yang tersebar di media sosial tersebut dapat dijelaskan bahwa kegiatan aktivitas pengangkutan material pembangunan yang menggunakan alat berat dilakukan karena tidak dimungkinkan menggunakan tenaga manusia. Penggunaan alat-alat berat seperti truk, ekskavator dan lain-lain, telah dilakukan dengan prinsip kehati-hatian. Sarana yang sedang dibangun ini hampir berada di atas areal terbangun sebelumnya, seperti bangunan perkantoran balai taman nasional,” Wiratno, dalam rilis pers.

Sejarah Taman Nasional Komodo

Berdasar catatan sejarah, keberadaan komodo di Indonesia awalnya ditemukan oleh seorang penjelajah Eropa di tahun 1910. Sayang, penjelajah itu tidak secara spesifik menyebut binatang itu sebagai komodo.

Ia menganggap komodo sebagai bagian dari spesies buaya dengan berbagai kemiripannya. Karenanya, penjelajah itu kemudian menyebarluaskan berita mengenai adanya "Pulau Buaya" di Hindia-Belanda --sebutan Indonesia di masa penjajahan Belanda.

Kabar Pulau Buaya itu menyebar di Hindia-Belanda. Tepat setelah dua tahun didokumentasikan oleh penjelajah Eropa tersebut, Direktur Museum Zoologi Bogor Peter Ouwens kemudian melakukan penelitian. Lewat jurnal ilmiah berjudul On a Large Varanus Species from an Island of Komodo (1912), Ouwens memuat hasil dokumentasinya terkait Komodo.

Penelitian itu begitu populer. Bahkan, nama latin komodo, "varanaus komodeensis" pun berasal dari Ouwens. Semakin populernya jurnal itu membuat banyak penjelajah dunia ingin ke Hindia-Belanda.

Komodo di Taman Nasional Komodo, NTT (Sumber: Commons Wikimedia)

Mereka datang khusus untuk menyaksikan hewan berkulit keras tersebut. Salah satu penjelajah yang tertarik adalah W. Douglas Burden. Burden bahkan mengkhususkan penjelajahannya pada tahun 1926 ke Indonesia hanya untuk berjumpa langsung dengan komodo.

Dari penjelajahannya itu, Burden membawa 12 ekor komodo yang diawetkan dan dua komodo yang masih hidup. Dari total 14 komodo yang dibawa Burden dari Nusantara, beberapa di antaranya dipamerkan di Museum Sejarah Alam Amerika. Dari sanalah istilah "komodo dragon" meluas ke seantero dunia.

Setelah penjelajahan Burden, penjelajah asal Eropa lain semakin banyak yang penasaran dengan komodo dragon. Terutama ketika dunia baru memahami bahwa kadal raksasa itu merupakan hewan endemik yang hanya ditemukan di Indonesia. Selepas Indonesia merdeka, tepatnya pada pemerintahan Presiden Soeharto, Taman Nasional komodo didirikan pada 1980.

“Pendirian taman ini ditujukan agar kelestarian hidup komodo beserta ekosistemnya tetap terjaga dalam waktu yang lama. Ada tiga letak lokasi ekosistem komodo yang dilindungi dalam Taman Nasional Komodo ini. Lokasi tersebut antara lain: di Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan Pulau Padar,” tulis dalam buku Rahasia Komodo (2010).

Tak hanya itu, Taman Nasional Komodo bahkan tak henti-hentinya membuat kagum dunia. selain mendapatkan predikat sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada 1991, Taman Nasional Komodo juga telah menjadi bagian dari 7 Wonder of the World sebagai warisan alam dunia pada 2011. Itulah mengapa hingga kini pesona komodo masih terus memancing banyak wisatawan untuk datang berkunjung ke NTT.