Bagaimana Ganja Selamatkan Ekonomi Masyarakat Afrika di Tengah COVID-19
Ilustrasi foto (Greta Scholderle/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Ratusan siswa SMA di Eswatini, sebuah negara di Afrika Selatan menjadi petani ganja setelah pemerintah menutup sekolah akibat pandemi COVID-19. Pilihan ini diambil para siswa ketimbang mereka berdiam di rumah.

Phoso Mamba, salah satu siswa yang turut menanam ganja mengatakan ia dipekerjakan di ladang ganja. Dan pilihan itu lebih baik untuk menyambung hidup. Phoso yang kini berusia 17 tahun adalah yatim piatu. Dan uang, baginya lebih penting daripada hari-hari sebelumnya.

Lagipula, Eswatini tak seperti negara lain yang dapat menerapkan sekolah dari rumah. Di Eswatini, COVID-19 membuat pendidikan benar-benar mati.

“Dengan ditutup sekolah, saya harus melakukan sesuatu untuk menghasilkan uang, daripada duduk diam di rumah. Saya memutuskan untuk mencoba keberuntungan saya dalam menanam ganja. Saya tidak tahu harus mulai dari mana pada awalnya. Tetapi saya telah meminta bantuan teman saya,” kata Phoso, dikutip Yeni Safak, Senin, 28 September.

Upayanya berbuah hasil. Dalam hitungan pekan, Phoso dan teman-temannya siap memanen ganja. Phoso dan teman-temannya kini memilih tidur di ladang untuk menjaga tanaman lima jari yang telah mereka tanam. Phoso mengaku takut hasil jerih payah mereka menanam ganja diambil pihak lain karena hari ini harga ganja sedang bagus-bagusnya.

"Saya akan segera panen. Saya tidak ingin melakukan kesalahan. Saya harus memastikan semuanya beres ... Dengan Afrika Selatan masih memperlakukan kuncitara dalam beberapa minggu ke depan, saya yakin harga (ganja) akan bagus,” kata Phoso.

Murid lainnya, Walter Magagula melakukan hal yang sama. Penutupan sekolah sekaligus kuncitara wilayah membuatnya aktif menanam ganja. Walter mengakui keuntungan besar yang ia dapat dari menanam emas Swazi --sebutan ganja di sana. Keuntungan yang membuatnya mengesampingkan persiapan ujian sekolah Oktober mendatang.

Saking menjanjikannya bisnis ganja, Walter bahkan telah membeli sebuah mobil berkat panennya. Mobil itu bahkan menjadi mobil pertama yang dapat dibeli dalam sejarah keluarga Walter hidup di Eswatini.

"Ayah saya tidak masalah. Dia tahu bahwa saya menghormatinya dan itu adalah kontribusi saya untuk kesejahteraan keluarga. Ini bukan mobil saya, tapi mobil keluarga. Kami tidak akan menyewa mobil atau mengganggu orang lain lagi dalam keadaan darurat," kata Walter.

Dalam realitanya, bukan cuma Mamba dan Walter yang memanfaatkan tutupnya sekolah dengan mengais rejeki di ladang ganja. Ratusan anak sekolah di pedesaan Swazi telah melakukan hal yang sama.

Sekolah atau uang

Ilustrasi foto (Greta Scholderle/Unsplash)

Di satu sisi, menjamurnya anak sekolahan menanam ganja memberi keuntungan ekoomi besar. Namun di sisi lain aktivitas belajar-mengajar di Eswatini terganggu. Seorang guru di SMA Lomahasha, Celiwe Dlamini mengaku frustasi dengan perilaku siswa yang mementingkan mencari uang ketimbang sekolah.

"Anak-anak telah mencicipi uang. Sekarang sulit untuk mengajar. Mereka sulit berkonsentrasi. Mereka tidak mengerjakan tugas sekolah, dan kami tidak dapat menggunakan hukuman fisik, sungguh membuat frustrasi," katanya.

“Sepertinya COVID-19 membanjiri pikiran mereka dengan rentetan ide bisnis. Mereka mulai menanam dagga (ganja) dan menyelundupkannya ke Mozambik dan pada gilirannya, menyelundupkan alkohol Mozambik ke Swaziland. Tidak mudah membentuk kembali pola pikir mereka untuk fokus pada tugas sekolah lagi," kata Dlamini.

Kondisi yang sama juga diungkap oleh direktur sebuah organisasi non-profit, Fundza, Nonkululeko Mdluli. Ia beranggapan COVID-19 telah merusak sektor pendidikan di Eswatini.

"Saya tidak bisa bohong. Sektor pendidikan kita sangat terpengaruh oleh pandemi COVID-19, butuh berbulan-bulan untuk mengembalikan anak-anak kita ke jalur yang benar. COVID-19 datang dengan banyak inovasi, beberapa di antaranya merugikan pendidikan," ucap Mdluli.

Legalisasi ganja di Eswatini

Sebelumnya, negara Swaziland yang bersalin nama menjadi Eswatini merupakan salah satu negara Afrika yang melarang keras legalisasi ganja. Namun, kala Perdana Menteri (PM) Ambrose Dlamini naik jabatan, ganja dilegalisasi olehnya pada 2017.

Dlamini bahkan meluncurkan Strategi Road Map 2018-2023 yang menjadikan ganja sebagai salah satu usaha tani yang dapat menghindupkan kembali perekonomian. Tak hanya itu, Dlamini turut pula berkonsultasi langsung dengan pemangku kepentingan untuk menggagas RUU Candu dan Obat.

Dlamini percaya diri dengan langkah yang dipilihnya. Sebab, sebuah perusahaan di Amerika Serikat (AS), Stem Holding telah menjadi investor dari Swazi dagga (ganja Swazi) secara resmi. Sedangkan pasar tak resmi dari ganja Swazi lainnya adalah Afrika Selatan dan Eropa.

Meski begitu, legalisasi ganja sempat ditentang oleh petani yang telah turun-temurun menanam ganja. Bagi mereka, legalisasi justru membuat harga ganja Swazi menjadi menurun. "Bukan hal yang baik untuk melegalkan ganja itu. Langkah itu akan menurunkan harga pasar gelap," kata Phoso Mamba, seorang siswa yang jadi petani ganja.

Walter berpendapat sama. "Saya tidak yakin apakah kami akan terus menghasilkan uang. Saya pikir itu harus tetap ilegal sebagaimana adanya.”

Sebelumnya, kondisi ini sempat disurvei oleh Afrobarometer. Lembaga penelitian tersebut dalam surveinya yang mewawancarai 1.200 orang Deasa di Eswatini menyebutkan sebanyak 57 persen tidak setuju dengan gagasam melegalkan penanaman ganja secara luas untuk menciptakan peluang ekonomi.