Minyak Goreng dari Ganggang Sebagai Pengganti Minyak Sawit: Diklaim Lebih Sehat, Sayang Proses Pembuatannya Masih Mahal
Mikroalga dalam bentuk bubuk dan diolah menjadi minyak. Minyak ganggang dapat menjadi alternatif pengganti minyak goreng sawit di masa depan. (Nanyang Technological University)

Bagikan:

JAKARTA - Saat ini Indonesia biasa menggunakan minyak goreng dari dua sumber, yaitu minyak goreng kelapa dan sawit. Minyak kelapa yang sudah dikenal sejak lama namun harganya mahal, tetapi minyak goreng sawit pun yang dulu murah pun sekarang langka dan mahal.

Tak perlu pesimistis, para ilmuwan di Singapura telah menemukan bahan minyak goreng terbaru yang diolah dari ganggang. Dilansir dari BBC, para ilmuwan di Singapura dalam penelitiannya berhasil memproduksi minyak nabati dari ganggang. Dibandingkan dengan minyak sawit, minyak ganggang diklaim lebih sehat.

Dalam publikasi akademik di Journal of Applied Phycology edisi Februari 2022, tim ilmuwan yang dipimpin oleh peneliti dari Nanyang Technological University, Singapura, menemukan cara untuk memproduksi minyak nabati dari ganggang. Dibandingkan dengan minyak kelapa sawit, minyak dari ganggang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh ganda, yang dapat membantu mengurangi kadar kolesterol jahat dalam darah.

Minyak yang diproduksi dari mikroalga, yang dikembangkan bekerja sama dengan para ilmuwan dari Universitas Malaya, Malaysia, juga mengandung lebih sedikit asam lemak jenuh. Unsur ini sering dikaitkan dengan stroke dan risiko seseorang terkena penyakit jantung.

Ganggang, bahan baku minyak goreng di masa depan. (Istimewa)

Direktur Program Ilmu dan Teknologi Pangan Nanyang Technological University (NTU) William Chen dalam keterangan tertulis pada Senin 21 Maret mengatakan, pengembangan minyak nabati dari ganggang ini adalah upaya mereka mencari cara untuk mengatasi masalah ketergantungan pada minyak nabati yang berdampak buruk terhadap lingkungan.

” Ini sebagai sumber makanan manusia yang potensial adalah kesempatan untuk mengurangi dampak buruk dari rantai pasokan makanan di planet kita,” ucap Chen.

Metode yang baru ditemukan ini akan berfungsi sebagai alternatif yang lebih sehat dan ramah lingkungan. Menurutnya minyak yang dihasilkan dari ganggang atau mikroalga ini dapat dimakan selayaknya minyak sawit.

Minyak sawit selama ini menjadi minyak nabati paling populer di dunia. Terdapat di hampir setengah dari semua produk makanan, dan memainkan peran sentral dalam berbagai aplikasi industri. Produksi minyak sawit untuk pasar global pada 2018 mencapai 77 juta ton, dan diperkirakan akan tumbuh menjadi 107,6 juta ton pada 2024.

Meski demikian, ekspansi perkebunan kelapa sawit yang cepat dinilai sebagai penyebab deforestasi besar-besaran di beberapa negara. Juga menghancurkan habitat satwa liar asli yang terancam punah.

Metode Baru

Tim NTU secara terpisah mengembangkan inovasi untuk menggantikan media kultur mikroalga, dengan residu kedelai yang difermentasi sambil meningkatkan hasil biomassa mikroalga sehingga biayanya lebih murah.

Tim juga telah mengembangkan teknologi pemrosesan hijau untuk mengekstraksi minyak tumbuhan, yang diturunkan dari mikroalga secara efisien. Setelah 14 hari mikroalga dicuci, dikeringkan, kemudian diolah dengan metanol untuk memecah ikatan antara minyak dan protein alga sehingga minyak dapat diekstraksi.

Ketika produksi minyak nabati ini dilakukan dengan sinar matahari alami, alih-alih menggunakan lampu ultraviolet, akan membantu menghilangkan karbon dioksida dari atmosfer dengan mengubahnya menjadi biomassa dan oksigen melalui fotosintesis. Secara alami saat mikroalga tumbuh, ia mengubah karbon dioksida menjadi biomassa dengan relatif cepat.

Para ilmuwan di program Ilmu dan Teknologi Pangan NTU juga telah mengembangkan proses untuk menghasilkan bahan reaksi utama yang dibutuhkan untuk mengolah minyak mikroalga, asam piruvat. Ini dilakukan dengan memfermentasi produk limbah organik, seperti residu kedelai dan kulit buah. Cara ini tidak hanya akan mengurangi biaya produksi, tetapi juga membantu mengurangi limbah makanan.

Penelitian minyak ganggang yang dilakukan perusahaan Exxon. (EXXONMOBIL)

Selain berfungsi sebagai alternatif yang lebih hijau ketimbang menanam pohon kelapa sawit untuk minyak atau lemak nabati, teknik yang dikembangkan NTU juga berpotensi membantu mengurangi emisi gas rumah kaca serta limbah makanan.

Dalam hal ini, peneliti mengandalkan fermentasi. Fermentasi adalah salah satu proses kunci di alam untuk mengubah bahan organik tersebut menjadi larutan kaya nutrisi. Kemudian digunakan untuk membudidayakan alga, yang tidak hanya mengurangi ketergantungan pada minyak sawit tetapi juga menjaga karbon keluar dari atmosfer.

Tim peneliti sejauh ini telah mendapatkan tawaran kerja sama dari beberapa produsen makanan dan minuman, guna mengeksplorasi peningkatan operasi mereka dalam waktu dua tahun.

Suatu saat minyak goreng berbahan dasar sawit dapat digantikan minyak dari ganggang. (ANTARA) 

Saat ini minyak mikroalga sudah ada di pasar, tetapi belum ada pilihan untuk aplikasi makanan. Sementara untuk biaya minyak mikroalga masih lebih mahal, yaitu sekitar 2,40 dolar AS per liter. Jauh lebih mahal dibandingkan minyak nabati lainnya, yang sekitar 0,60 dolar AS. Meski demikian, biaya ini dinilai lebih disebabkan biaya pemrosesan hilir ganggang yang masih tinggi dan hasil biomassa yang rendah. Kekurangan ini menjadi tugas pengembangan tim NTU ke depan.

Para ilmuwan juga telah mengembangkan metode untuk menghasilkan asam piruvat, dengan memfermentasi kulit buah. Media kultur untuk mikroalga, di sisi lain, dapat dibuat dengan memfermentasi residu kacang kedelai  

Penelitian di China

Sebelumnya, para ilmuwan dari Single-Cell Center, Qingdao Institute of BioEnergy and Bioprocess Technology (QIBEBT) dari Chinese Academy of Sciences (CAS), juga telah melaporkan temuannya terkait hal ini dalam jurnal Metabolic Engineering pada 3 April 2021. Isinya tentang potensi gangang sebagai sumber minyak goreng alternatif telah mengundang sejumlah peneliti dari negara lain.

Para peneliti berhasil menggabungkan ganggang penghasil minyak dengan gen dari tanaman Cuphea sehingga dapat mengubahnya menjadi pabrik sel mikroba yang dapat menghasilkan berbagai minyak dengan sifat yang berbeda. Dengan metode ini, para peneliti sekarang dapat memprogram ”pabrik” alga untuk menghasilkan asam lemak dengan panjang yang berbeda.

Mikroalga sering menjadi kandidat yang menarik sebagai ”pabrik sel” karena tingkat reproduksinya yang cepat dan kemampuannya untuk menghasilkan asam lemak dalam jumlah besar. Bukan mustahil suatu saat nanti minyak goreng ganggang akan menggantikan minyak goreng sawit, jika proses produksi yang lebih murah sudah ditemukan.