JAKARTA - Kementerian Perdagangan (Kemendag) membantah kelangkaan dan meningkatnya minyak goreng karena adanya permainan kartel. Pemerintah menyakini bahwa meroketnya harga minyak goreng karena dampak pandemi COVID-19 yang melanda dunia.
Pernyataan yang disampaikan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Oke Nurwan ini berlawanan dengan temuan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU mendapati empat perusahaan besar menguasai 45,6 persen pasar minyak goreng. Hasil penelitian tersebut jadi alasan kuat adanya dugaan persaingan usaha yang tidak sehat.
Oke menjelaskan, penyebab kenaikan harga minyak goreng merupakan dampak pandemi COVID-19 yang membuat rantai pasok dunia terganggu. Dimana permintaan meningkat, sementara persediaan terbatas membuat harga meroket sejak akhir tahun lalu.
"Jadi kejadian yang selama ini tidak terjadi, saat ini gara-gara pandemi ini terjadi adalah anomali. Anomalinya apa? tadi harga tinggi karena kebutuhan-kebutuhan dunia tinggi. Pasokan minyak nabati dunia kekurangan, ada berbagai sebab ada gangguan panen minyak nabati di Kanada," tuturnya dalam diskusi virtual Indef, Kamis, 3 Februari.
Lebih lanjut, Oke juga mengatakan Malaysia sebagai negara yang juga menjadi penyuplai minyak sawit mentah atau CPO terbesar mengalami masalah produksi. Dimana, penurunan produksi terjadi karena faktor cuaca dan sebagian pekerjanya kembali ke Tanah Air.
"Di Malaysia yang diklaimnya hanya turun 6 persen, tapi kenyataanya turun 12 persen dan ternyata salah satu penyebab pasokan dunia dari Malaysia turun itu adalah gara-gara pandemi, tenaga kerja dikembalikan ke Indonesia salah satunya, selain musim hujan tentunya," jelasnya.
Sementara itu, kata Oke, hasil produksi CPO di dalam negeri tidak semua digunakan untuk kebutuhan minyak goreng. Menurut dia, industri kelapa sawit memiliki setidaknya 120 produk turunan yang dihasilkan dari olahan sawit.
BACA JUGA:
Lebih lanjut, kata Oke, belum lagi keperluan ekspor dimana kini permintaan dan harga yang tinggi. Sehingga perlu pengaturan yang proporsional aktris tetap bisa berjalan dengan optimal.
Di samping itu, Oke mengatakan industri sawit di Indonesia sudah ada sejak ratusan tahun. Karena itu, menurut dia tak mungkin ada permainan kartel yang menyebabkan naiknya harga minyak goreng dan menyebabkan kelangkaan.
Oke pun mempertanyakan mengapa dugaan adanya oligopoli baru disuarakan saat ini. Sementara, selama ini industri kelapa sawit berjalan dengan baik selama ratusan tahun.
"Kok baru dideteksi sekarang ada persaingan tidak sehat, oligopoli? Harusnya sudah terjadi sudah lama, bahkan KPPU belum terbentuk pun (industri) sawit ini sudah jalan. Cuma karena harga minyak goreng naik tinggi, jadi seolah-olah dari hulu sampai hilir harus dibenahi. Tatanan internasional yang dibangun Indonesia itu kita rombak semua, tidak begitu menurut saya," ucapnya.
Meski begitu, Oke menegaskan bahwa pemerintah sangat mendukung iklim perdagangan yang sehat dan tidak mau ada persaingan usaha yang tidak sehat terjadi di dalam negeri. Masalah minyak goreng hanya sebagian kecil dari industri sawit yang adanya di hilir.
"Pemerintah sangat mendukung iklim perdagangan yang sehat. Pemerintah tidak ingin persaingan udaha yang tidak sehat terjadi. Silakan, yang melaksanakan tugas dan fungsi untuk menjamin persaingan usaha iklim perdagangan yang sehat terjadi kami dukung. Silakan," katanya.