YOGYAKARTA – Sejarah minyak goreng sangat menarik untuk disimak. Hal ini karena minyak goreng adalah komoditas industri yang sangat strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak.
Di Indonesia, minyak goreng yang paling sering digunakan adalah minyak goreng sawit (Refined Bleached Deodourised Olein/RDBO). Mengingat Indonesia merupakan negara penghasil sawit. Selain itu, minyak goreng sawit juga cukup ideal dari segi harga dan ketersediaan.
Lantas, bagaimana awal mula penggunaan minyak goreng sebagai bahan pengolahan makanan?
Sejarah Minyak Goreng Sawit
Menurut ensiklopedia Britannica, kelapa sawit telah lama diolah menjadi minyak dan menjadi bahan kebutuhan pokok di wilayah yang terbentang dari Senegal hingga Angola di sepanjang pantai barat Afrika, dikutip VOI dari Kompas, Kamis, 13 Oktober 2022.
Komoditas minyak sawit mulai ramai di pasar global sekitar tahun 1500-an, karena marak digunakan oleh kapal perdagangan budak transatlantik.
Saat kapal-kapal tersebut melakukan perjalanan melintasi Atlantik, minyak sawit menjadi makanan berharga yang membuat para tawanan tetap hidup. Bahkan, para pedagang juga menggunakan minyak sawit untuk mengolesi kulit para tawanan agar terlihat mulus, kinclong, muda, sebelum dilelang.
Seiring berjalannya waktu, popularitas minyak sawit semakin menurun, dan kehilangan reputasinya sebagai bahan mentah.
Hal tersebut terjadi karena eksportir membuat minyak sawit lebih murah dengan metode hemat kerja yang memungkinkan buah sawit berfementasi dan melunak, kendati hasilnya tengik.
Para pembeli minyak sawit di Eropa kemudian memprosesnya secara kimiawi guna menghilangkan bau tengik. Hasilnya, minyak sawit dapat menjadi cairan yang rasanya hambar dan menggantikan fungsi lemak konsumsi atau minyak lain yang lebih mahal.
Minyak Sawit Mulai Diproduksi untuk Kebutuhan Industri
Sebagaimana diketahui, buah dan biji sawit bisa diperas untuk menghasilkan berbagai jenis minyak dan membuat makanan menjadi remah.
Minyak sawit menarik minat para produsen karena bisa menyatu dengan bahan lainnya. Biaya produki minyak goreng sawit disebut lebih murah ketimbang minyak goreng dari biji kapas atau bunga matahari.
Meski begitu, Minyak goreng sawit dijual murah karena ada warisan kolonialisme dan eksploitasi yang masih membelunggu industri hingga saat ini. Kondisi ini membuat sulitnya mengalihkan produksi minyak sawit ke jalur yang lebih berkelanjutan.
Berdasarkan laporan The Guardian pada 19 Februari 2019, organisasi keuangan internasional melihat minyak sawit sebagai mesin pertumbuhan ekonomi.
Padahal, sejak 1960-an, para ilmuan sudah memperingatkan bahwa kandungan lemak jenuh yang tinggi pada minyak sawit dapat meningkatkan risiko penyakit jantung.
Menyikapi hal tersebut, produsen makanan mulai mengganti minyak sawit dengan margarin, yang dibuat dengan minyak nabati dengan kandungan lemak jenuh lebih rendah.
Akan tetapi, pada 1990-an, peneliti menemukan bahwa proses pembuatan minyak dalam margari, yang dikenal sebagai hidrogenasi parsial, sebenarnya menciptakan jenis lemak yang berbeda, yaitu lemak trans yang tidak lebih sehat daripada lemak jenuh.
Hasil penelitian itu memunculkan seruan internasional yang menuntut pembatasan penggunaan bahan pangan yang mengandung lemak trans.
Pada 1994, perusahaan makanan dan minuman Uniliver yang notabene adalah konglomerasi Inggris-Belanda, menghilangkan minyak terhidrogenasi parsial dari 600 campuran lemak, dan menggantinya dengan komponen bebas lemak.
BACA JUGA:
Uniliver berusaha mengganti bahan lemak trans yang lebih menguntungan, sebagai pengganti mentega. Akan tetapi, pada akhirnya, langkah ini justru membawa Uniliber memanfaatkan minyak dari biji kelapa sawit.
Saat ini, ada 3 miliar orang di 150 negara yang menggunakan minyak goreng dari kelapa sawit. Rata-rata, masyarakat dunia mengonsumsi 8 kg minyak sawit per tahun. Dari jumlah tersebut, 85 persen sawitnya berasal dari Malaysia dan Indonesia.
Demikianlah informasi seputar sejarah minyak goreng sawit. Semoga bermanfaat.