JAKARTA - Setelah sempat melakukan aksi mogok 21 Februari hingga 24 Februari 2022, akhirnya produsen tahu tempe kembali berproduksi dengan kenaikan harga sekitar 20 persen. Para produsen tahu tempe berharap pemerintah membenahi tata niaga kedelai. Aksi mogok para produsen tempe sebagai respon atas naiknya harga kedelai dari sekitar Rp8000 per kilogram menjadi Rp12 ribu per kilogram
Dari data Trading Economics harga kedelai dunia sempat menyentuh 16,4 dollar AS per gantang, kian mendekati harga tertinggi tahun lalu yang 16,61 dollar AS per gantang, pada 12 Mei 2021.
Setelah minyak goreng yang mengalami kenaikan dan kelangkaan, disusul dengan dengan kenaikan harga kedelai yang berdampak pada kelangkaan tahu tempe. Sudah waktunya pemerintah membuat strategi pangan untuk menghadapi perubahan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, beberapa tahun terakhir kebutuhan kedelai nasional sebesar 3,4-3,6 juta ton per tahun. Di sisi yang lain, kapasitas produksi kedelai paling tinggi hanya mendekati 1 juta ton. Dengan kondisi tersebut maka setiap tahun diperlukan impor sebanyak 2,4-2,6 juta ton.
Bahkan, pada tahun 2017 total impor kedelai mencapai 2,67 juta ton yang bernilai US$ 1,15 miliar dimana 2,63 juta ton berasal dari Amerika Serikat. Rendahnya kapasitas produksi kedelai ini dapat dilihat dari data BPS pada 2019, dan dalam 5 tahun terakhir produksi tertinggi kedelai tahun 2016 dan 2017 sebesar 859.653 ton dan 538.728 ton, pada tahun 2018 mengalami kenaikan menjadi 982.528 ton.
Mahalnya harga kedelai dianggap sebagai peluang mengembangkan sumber protein yang juga dapat dengan mudah di jangkau oleh masyarakat kita. Negara kita mempunyai aneka ragam sumber protein hewani dan nabati, dari mulai telur ayam, ikan laut dan ikan darat serta kacang -kacangan lokal. Selain dapat mendorong konsumsi pangan lokal juga memberi manfaat lain yaitu menumbukan ekonomi pedesaan.
Produktivitas Indonesia Rendah
Dilansir dari laman UGM, dosen Fakultas Pertanian dan Sekolah Pascasarjana UGM, Subejo menanggapi fenomena kedelai yang mengalami kenaikan berulang setiap tahunnya. Ia menjelaskan, kedelai merupakan tipikal komoditas yang sangat sesuai dikembangkan di negara empat musim dan optimal dikembangkan di negara beriklim tropis seperti Indonesia.
Tingkat produktivitas kedelai Indonesia sangat jauh dibandingkan dengan produktivitas di Amerika dan Eropa.
“Dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat permintaan kedelai juga semakin meningkat, akibatnya impor kedelai tidak dapat dihindarkan," ucapnya.
Menurut Subejo diperlukan terobosan untuk menekan impor kedelai secara signifikan dan menjaga stabilitas harga. Diperlukan program strategis melalui penguatan inovasi produksi. “Inovasi pemuliaan benih kedelai yang produktif, adaptif terhadap perubahan iklim dan memiliki citra rasa baik sangat penting dilakukan," jelasnya.
Salah satu inovasi yang dihasilkan oleh UGM dan perlu dikembangkan adalah benih kedelai hitam Mallika. Menurutnya, benih kedelai hitam Mallika ini cukup prospektif karena memiliki produktivitas tinggi, adaptif terhadap kekurangan air dan sesuai untuk daratan rendah dan sedang.
Bisa juga melalui inovasi UGM yang lain terkait dengan peningkatan produktivitas kedelai yaitu Mikoriza. Melalui Mikoriza dapat meningkatkan eksplorasi perakaran sampai ratusan kali volumenya sehingga penyerapan air dan nutrisi menjadi lebih baik yang membuat tanaman kedelai menjadi lebih subur.
Kacang Koro
Selama ini harga kedelai lokal kurang menarik bagi petani sehingga budi daya kedelai tidak menjadi prioritas karena tingginya kompetisi dengan komoditas pertanian yang lebih menguntungkan. Alternatifnya lakukan budi daya kedelai dengan memanfaatkan lahan perhutanan sosial serta pengembangan komoditas substitusi kedelai.
BACA JUGA:
Sebagai pengamat pertanian, ia mengusulkan inovasi pengembangan berbagai jenis kacang koro. Kacang yang telah diinisiasi sebagai subtitusi kacang kedelai, namun cita rasa dan kekhasan olahan tempe dan tahu berbahan kedelai dipandang berbeda dibandingkan olahan dari bahan substitusi.
“Isu perubahan taste dan pereferensi konsumen inipun juga menjadi hal yang tidak mudah," ujarnya.
Akan memerlukan waktu mengubah selera masyarakat, dengan mengembangkan tahu dan tempe nonkedelai dengan mengembangkan teknologi pangan,namun jika kita ingin tetap mengonsumsi tahu dan tempe pemerintah harus konsisten menghasilkan varietas kedelai lokal dengan produktivitas tinggi.