Pemerintah Kejar Target Vaksinasi 70 Persen: Mampu, Tapi Tidak Dapat Segera
Presiden Joko Widodo bersiap disuntik vaksin COVID-19 untuk kedua kalinya, Rabu (21/1/2021). (Foto: Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden)

Bagikan:

JAKARTA- Pemerintah terus mengupayakan mengejar target vaksinasi COVID-19 minimal 70 persen populasi pada Juni 2022, namun akan terkendala pada keterlambatan dosis kedua.

Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit nomor SR.02.06/II/921/2022 tentang Pemberian Vaksinasi COVID-19 bagi sasaran yang drop out, tertulis bahwa batas maksimum jeda antardosis maksimal adalah enam bulan. Apabila terlewati, harus diulang dengan jenis vaksin yang dapat berbeda dari sebelumnya.

Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) hingga 23 Februari 2022, jumlah penduduk yang telah menerima vaksin dosis lengkap mencapai 142,27 juta jiwa atau 68 persen dari total populasi. Padahal standar minimum agar sebuah komunitas terbentuk kekebalan kelompok adalah 70 persen.

Prioritas pada kelompok rentan merupakan tugas utama untuk menuntaskan vaksinasi. Dari target 21,55 juta jiwa warga lansia, cakupan dosis pertama baru mencapai 74,69 persen.

Jenis-jenis vaksin COVID-19 yang beredar di dunia. (Foto: alomedika.com)

Selain tergolong lambat, dari sekitar 16,09 juta jiwa penerima dosis pertama, pasti ada yang perlu mengulang kembali karena telah lebih dari 6 bulan. Tantangan lain adalah lambatnya laju vaksinasi nasional secara harian yang penambah hariannya kurang dari 1 persen yaitu 0,43 persen atau 578.805 orang per hari.

Data Satgas Penanganan COVID-19 menyebutkan dengan rincian penerima vaksin dosis pertama mencapai 190.228.123 jiwa, sementara penerima dosis kedua baru 142.270.154 jiwa. Dari jumlah penerima dosis pertama, artinya ada 25,21 persen penduduk yang perlu segera mendapat vaksin dosis lengkap.

Sejumlah provinsi di Indonesia perlu melakukan akselerasi proses vaksin ke masyarakat karena selisih penerima dosis pertama dan kedua sangat besar. Lima provinsi dengan selisih terbesar adalah Aceh (48,28 persen), Maluku Utara (46,03 persen), Maluku (43,24 persen), Sulawesi Tengah (42,42 persen), dan Kalimantan Selatan (41,40 persen).

Faktor keterlambatan vaksinasi lengkap dari enam bulan diantaranya faktor internal individu,seperti konsisi fisik tubuh, risiko Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) hingga kesadaran untuk menerima vaksin dosis kedua .

Kesenjangan Antardaerah

Dari data harian vaksinasi yang dikeluarkan Kemenkes memperlihatkan kesenjangan antar daerah. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan jumlah penerima vaksin di antaranya adalah kebijakan karena pemerintah telah menetapkan daerah prioritas vaksinasi, kemudian persoalan distribusi.

Selama 8 bulan pelaksanaan vaksinasi, terdapat beberapa daerah yang sempat kekurangan stok vaksin seperti Sumatra Barat, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat. Akibatnya laju vaksinasi terhambat.

Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil mengkampanyekan vaksin COVID-19 di provinsi yang dipimpinnya. (Foto: Dok. Bappeda Jabar)

Dari 34 provinsi di Indonesia, hanya ada tiga provinsi yang mencatatkan capaian vaksinasi dosis lengkap di atas 30 persen dari total populasi. Ketiga provinsi tersebut adalah DKI Jakarta (71,3 persen), Bali (56,6 persen), dan Kepulauan Riau (35,9 persen).

Hanya 11 provinsi yang telah berhasil melakukan vaksinasi kepada lebih dari 50 persen penduduknya. Sementara 10 provinsi bahkan kurang dari 40 persen, termasuk Papua yang paling rendah capaian vaksinasinya yaitu 13,62 persen.

Vaksin Lengkap Membentuk Kekebalan

Lembaga The Global Alliance for Vaccines and Immunisation (GAVI) mengingatkan pentingnya vaksinasi dosis lengkap bagi seluruh masyarakat dunia. Sebagai contoh, jenis vaksin Pfizer dan BioNTech memiliki tingkat kekebalan hingga 91,3 persen setelah dua kali dosis, bahkan bertahan hingga enam bulan setelah vaksinasi.

Demikian pula Moderna dengan tingkat efikasi 94 persen. Vaksinasi terbukti menurunkan potensi infeksi, gejala berat, perawatan intensif di rumah sakit, hingga kematian pasien. Hanya saja, kekebalan tubuh yang terbentuk dari vaksinasi akan berkurang drastis setelah periode 3-6 bulan setelah vaksinasi.

Riset dari Kementrian Kesehatan terhadap 71.455 tenaga ksehatan di DKI selama periode Januari-Juni 2021 menunjukkan bahwa hanya 5,03 persen yang terinfeksi COVID-19 setelah medapatkan vaksin lengkap dan 0,17 persen yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Pemberian vaksin homolog (jenis vaksin pertama hingga ketiga sama) berjenis Sinovac mampu meningkatkan antibodi hingga 7,8 kali lipat.

Menuntaskan Vaksinasi

Saat ini penanganan pandemi menuju endemi terus berpacu dengan waktu di tengah meningkatnya kasus COVID-19. Pemerintah perlu memastikan bahwa semua masyarakat mendapatkan vaksin tepat waktu atau tidak melebihi enam bulan setelah vaksinasi per dosisnya.

Karena tujuan utamanya adalah untuk kekebalan tubuh terhadap virus corona jika terinfeksi. Saat ini hampir semua negara di dunia telah mendapatkan vaksinasi penguat atau dosis ketiga.

DKI Jakarta telah berhasil melakukan vaksinasi lebih dari 70 persen penduduknya,percepatan vaksinasi perlu di fokuskan pada daerah-daerah lainnya di luar Jawa-Bali untuk mengejar target 70 persen populasi.

Poster ajakan untuk melakukan vaksin penguat sebagai pencegahan COVID-19. (Foto: Istimewa) 

Siaran pers dari National Institute of Health Research and Development Kemenkes menyatakan, target 70 persen populasi yang mendapat vaksinasi lengkap bisa dicapai dalam waktu 2-3 bulan dengan laju vaksinasi sekitar 578 ribu jiwa setiap hari.

Namun, kondisi tersebut masih menghadapi sejumlah faktor penghambat yang mungkin muncul, seperti penerimaan masyarakat, akses ke daerah-daerah, dan komorbid individu yang dapat menghambat tercapainya target vaksinasi.

Melihat besarnya manfaat vaksinasi, terutama vaksinasi dosis lengkap dan penguat, program vaksinasi COVID-19 harus mendapat perhatian seluruh pihak.