The Fed Pertahankan Suku Bunga 0-0,25 Persen, Sinyal Ekonomi Amerika Serikat Masih Jeblok
Gubernur The Fed Jerome Powell. (Foto: Twitter @federalreserve)

Bagikan:

JAKARTA - Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve memutuskan mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 0-0,25 persen. Gubernur The Fed Jerome Powell mengatakan, keputusan itu dilakukan karena masih ganasnya efek pandemi COVID-19 di negara tersebut.

"Lonjakan kasus COVID-19 di Amerika Serikat dan pembatasan yang ditujukan untuk menahan penyebaran virus itu mulai membebani pemulihan ekonomi," ujarnya dikutip dari Reuters, Kamis 30 Juli.

Hal ini merujuk pada penurunan daya beli konsumen dan perlambatan rekrutmen pekerja kasar terutama oleh usaha kecil.

Pernyataan terkait dipertahankannya suku bunga oleh The Fed secara langsung mengaitkan pemulihan ekonomi dengan krisis kesehatan di negeri Paman Sam tersebut. Tercatat lebih dari 150 ribu orang AS meninggal karena COVID-19.

Powell menjelaskan, banyak yang masih belum jelas tentang arah ekonomi AS. Program stimulus fiskal yang ia lakukan demi mempertahankan pengeluaran konsumen dalam beberapa pekan terakhir akan segera berakhir.

Virus corona baru ini, kata Powell, bergerak sangat cepat sehingga seluruh dunia menghadapi risiko yang sama dari dampak pandemi yang belum berlalu. Ia meyakini pemulihan ekonomi membutuhkan waktu yang tidak sebentar, bahkan saat perekonomian dibuka kembali dan orang-orang kembali bekerja.

Produk Domestik Bruto (PDB) Amerika Serikat kemungkinan akan jatuh menuju rekor minus 34,8 persen pada kuartal II 2020 seiring dengan lockdown di beberapa negara bagian. Yang cukup menjadi harapan, Powell menyebut tidak semua sektor kegiatan usaha terpuruk. Dia mencontohkan, sektor perumahan bisa menjadi titik terang.

Ekonom senior Wells Fargo & Co Mark Vitner mengatakan gelombang penyebaran virus yang tak kunjung usai menjadi alasan utama keputusan The Fed mempertahankan suku bunga. Menurutnya, perekonomian sangat rentan saat laju penyebaran virus seolah tidak terbendung.

"Ini menunjukkan betapa sulitnya membuat kebijakan ekonomi di saat kita tidak tahu apa yang akan dilakukan virus selanjutnya," ujar Vitner.