Bagikan:

JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan pihaknya akan terus menjalankan kebijakan makroprudensial yang akomodatif guna menahan tekanan yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19 di sektor keuangan.

Menurut dia, hal tersebut kemudian berimplikasi terhadap pemberlakuan suku bunga acuan yang ditetapkan oleh bank sentral. Selain itu, BI juga berupaya untuk menjaga likuiditas di pasaran tetap longgar sembari memperhatikan tanda-tanda pemulihan ekonomi yang ditunjukan lewat besaran inflasi yang terbentuk.

“Suku bunga tetap rendah sampai kami melihat ada tanda-tanda kenaikan inflasi, yang paling cepat baru akan terjadi pada awal tahun depan,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Kamis, 17 Juni.

Untuk diketahui, suku bunga acuan yang ditetapkan oleh otoritas moneter saat ini tercatat berada di level 3,50 persen. Angka tersebut merupakan rate interest terendah sepanjang sejarah BI.

Lebih lanjut, Perry menjelaskan jika penetapan suku bunga tidak lepas dari pengaruh global utamanya kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS), yakni The Federal Reserve alias The Fed.

“Pengaruh global tentu saja datang dari US Treasury (surat utang AS) yang mana The Fed menyatakan bahwa tapering (pengetatan likuiditas) masih terlalu dini untuk saat ini,” tuturnya.

Perry menambahkan, bank sentral AS juga memberi sinyal bahwa masih akan menerapkan langkah akomodatif guna menyeimbangkan sistem keuangan dan juga perekonomian dalam negeri mereka.

“Sepanjang yang kami pahami The Fed Fund Rate (suku bunga AS) baru akan naik pada 2023 nanti, dan dampaknya terhadap US Treasury masih jauh. Kondisi ini saya kira sudah dipahami oleh pasar,” katanya.

Bank Indonesia sendiri disebut Perry akan menaikan suku bunga acuan setelah melakukan beberapa langkah strategis sebagai sinyal kebijakan kepada pasar.

“BI akan memulainya dengan tapering dulu, yaitu kami kurangi likuiditas. Setelahnya baru kemudian langkah-langkah lanjutan yang akhirnya keputusan untuk menyesuaikan suku bunga,” tutup Perry.