Bagikan:

JAKARTA - Dosen Komunikasi Universitas Indonesia (UI) Ade Armando mengklaim, pemberlakuan gagasan syariat Islam di Indonesia bukanlah wacana dominan sejak dulu. Baru akhir-akhir ini, gagasan ini mengemuka dan menjadi perdebatan publik.

Secara pribadi, menurut Ade Armando, pilihan untuk menolak syariat Islam lebih masuk akal. Sebab saat diturunkan oleh Allah, Al-Qur'an mencerminkan konteks atau hukum yang merefleksikan kondisi pada abad ke-7 di tanah Mekah. Artinya, refleksi soal penerapan syariat tidak terlepas dari konteks abad ke-7.

"Saya muslim yang percaya pada Allah pada Nabi Muhammad, pada Al-Qur'an, saya percaya bahwa Allah menurunkan ayat-ayatnya melalui perantaraan malaikat kepada Nabi Muhammad. Namun, saya tidak percaya bahwa di dalam Al-Qur'an termuat hukum Islam yang harus dijalankan dengan cara yang sama diseluruh dunia di sepanjang zaman," terang Ade dikutip dari kanal Youtube CokroTV, Selasa, 26 Oktober.

Bagi Ade Armando, kewajiban untuk menerapkan hukum Islam dengan merujuk ayat-ayat Al-Qur'an dengan cara yang sama sepanjang masa dan di seluruh dunia bukanlah perintah yang termuat dalam Al-Qur'an itu sendiri. Itu hanyalah interpretasi.

"Dan Karena itu adalah sekedar interpretasi, kita juga bisa melakukan interpretasi berbeda," terang Ade.

Selanjutnya soal hukum. Hukum dalam penerapan syariat Islam senantiasa merefleksikan kondisi dan konteks sejarah, di mana hukum itu dilahirkan. Sedangkan yang universal adalah prinsip-prinsipnya saja. Misalnya soal keadilan.

Menurut dia, wujud keadilan yang ditegakan di Indonesia sangat mungkin berbeda dengan keadilan yang ada di Amerika. Begitu juga dengan hukum Islam. Bagaimana prinsip keadilan dalam hukum Islam diterapkan di Indonesia bisa berbeda penerapannya dengan di Pakistan.

Sebagi contoh, umat Islam dilarang untuk memilih pemimpin nonislam. Banyak muslim yang percaya bahwa haram hukumnya memilih presiden, gubernur, ketua BEM bahkan ketua kelas beragama nonmuslim.

"Ini bagi saya jelas tidak masuk akal. Saya, kalaupun memang ada ayat yang berbunyi begitu itu bukanlah hukum yang berlaku secara universal di sepanjang waktu. Itu adalah ayat yang merujuk pada episode kehidupan Nabi Muhammad yang spesifik dalam situasi yang sangat kondisional," terang Ade.

Contoh lainnya soal seorang muslim yang pindah agama. Munurut syariat yang diyakini Imam Syafi'i, orang terebut harus bertobat atau kalau tidak maka harus dihukum mati.

Padahal, menurut Ade Armando, ayat Al-Qur'an itu merujuk pada kondisi dimana terjadi peperangan antara umat Islam dan nonislam sehingga setiap muslim yang pindah agama dihawatirkan akan menjadi pengkhianat.

"Ketika Tuhan bicara dengan Muhammad, Tuhan bicara dalam konteks masyarakat Arab yang masih terbelakang di abad ke-7. Jadi aturan yang diturunkan mencerminkan kondisi abad ke-7 yang tidak bisa begitu saja diadopsi di abad ke-21,"

"Membayangkan Al-Qur'an berisikan peraturan-peraturan yang harus diterapkan dalam cara yang sama dengan abad ke-7 menurut saya sangat tidak masuk di akal," tegas Ade Armando.

Meski demikian, Ade Armando meyakini cara berpikirnya ini bukanlah hal yang paling benar sebab setiap manusia memiliki akal yang menuntunnya dalam mengambil sikap.

"Saya harus ingatkan sejak awal, saya tidak sedang mengatakan cara berpikir saya yang paling benar. Saya tidak ingin mengatakan cara saya beragama lebih benar. Saya percaya pada kebebasan dalam diri setiap manusia untuk berpikir dengan caranya masing-masing. Sebab kebebasan berpikir adalah sebuah karunia Tuhan yang tidak boleh dirampas oleh orang lain," tegas Ade.