Bagikan:

JAKARTA - Sekretaris Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Bambang Iriana Djajaatmadja, mengatakan ancaman hukuman mati masih diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

"Di dalam RKUHP kita ke depan pidana mati disebutkan sebagai salah satu jenis pidana yang bersifat khusus," kata dia, di Jakarta, dilansir Antara, Senin, 18 Oktober.

Penempatan pidana mati diatur dalam ketentuan tersendiri di luar pidana pokok. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 73 menunjukkan bahwa jenis pidana mati sebagai upaya terakhir mengayomi masyarakat, karena pada hakikatnya pidana mati bukanlah sarana utama untuk mengatur dan memperbaiki namun hanya pengecualian.

Pada Pasal 109 pencantuman hukuman tersebut tidak berdiri sendiri, namun diancamkan secara alternatif dengan pidana perampasan kemerdekaan terpidana, yakni berupa penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun kurungan penjara.

Penerapan pidana mati hanya dikenakan untuk pidana tertentu. Artinya, hukuman tersebut hanya berlaku bagi kejahatan berat, misalnya makar, pembunuhan berencana, korupsi, narkotika, tindak pidana berat HAM, dan terorisme.

Selanjutnya, kata dia, penjatuhan ancaman pidana mati diterapkan secara bersyarat (penundaan pelaksanaan hukuman mati). Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 111.

Pelaksanaan hukuman tidak dilakukan serta merta akan tetapi melalui masa percobaan paling lama 10 tahun kurungan penjara. Selama kurun waktu itu terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri.

Jika terpidana mati dapat memperbaiki diri, maka hukuman mati tidak perlu dilakukan dan bisa diganti dengan perampasan kemerdekaan terpidana.

Secara umum, ujarnya, ancaman pidana mati masih dipertahankan di RKUHP yang didasarkan pada upaya perlindungan masyarakat atau lebih menitikberatkan pada kepentingan publik.

Akan tetapi, paparnya, pengaturan pidana mati dalam RKUHP bersifat selektif, hati-hati, dan berorientasi jauh pada perlindungan kepentingan pelaku tindak pidana.