Terima Rapor 4 Tahun Anies Baswedan dengan 10 Catatan Merah, Anak Buah Pastikan Bakal Pelajari
Asisten Pemerintahan Setda DKI Sigit Wijatmoko (Foto: Diah Ayu/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pemprov DKI telah menerima rapor merah empat tahun kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.

Rapor merah ini tak diterima langsung oleh Anies, melainkan Asisten Pemerintahan Setda DKI, Sigit Wijatmoko.

"Karena sifatnya dadakan, tadi saya sampaikan bahwa apabila kami terinfomasi lebih awal, saya yakin pak Gubernur yang menerima langsung teman-teman LBH maupun perwakilan dari warga," kata Sigit di Balai Kota DKI, Senin, 18 Oktober.

Sigit mengaku pihaknya menghargai partisipasi LBH dalam mengkritik kebijakan Anies di Ibu Kota. Ia juga menegaskan bahwa Pemprov DKI tak ingin berpolemik dengan rapor merah yang diterima.

"kami akan mempelajari sesegera mungkin untuk bisa memberikan respon termasuk juga mengklarifikasi atas apa yang menjadi rekomendasinya," ungkap Sigit.

Sebagai tindak lanjut, setelah mempelajari sepuluh catatan kritis LBH, Sigit menyebut Anies akan mengatur pertemuan lebih lanjut.

Semua akan kita pelajari untuk kita bisa respons, karena setelah ini Pak Gubernur juga akan kita atur untuk bisa bertemu teman-teman dari LBH, sehingga mendapatkan penjelasan yang lengkap," tuturnya.

Sebagai informasi, siang tadi LBH Jakarta menyerahkan rapor merah empat tahu kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan.

Ada 10 catatan yang tertuang dalam rapor merah tersebut. Kebijakan yang masuk dalam kritikan LBH adalah buruknya kualitas udara di Jakarta, akses air bersih yang belum merata, penanganan banjir yang belum optimal, lalu penataan kampung kota yang belum partisipatif.

Selanjutnya, Anies dianggap tak serius dalam memperluas akses terhadap bantuan hukum, warga masih sulit memiliki tempat tinggal, belum ada bentuk intervensi yang signifikan terkait permasalahan yang menimpa masyarakat pesisir dan pulau kecil.

Kemudian, penanganan pandemi yang masih setengah hati, penggusuran paksa yang masih menghantui warga Jakarta, hingga reklamasi yang masih terus berlanjut.