JAKARTA - Partai Golongan Karya (Golkar) dinilai harus mengembalikan kejayaannya jika ingin memenangkan Ketua Umum Airlangga Hartarto yang dijagokan maju pada Pilpres 2024. Pasalnya, pada 3 kali pemilu sejak juara di 2004 perolehan suara partai beringin selalu menurun.
Di Pemilu 2004 Partai Golkar berjaya dengan perolehan suara 21,58 persen. Golkar harus mengelus dada pada Pemilu 2009 lantaran perolehan suara turun menjadi 14,45 persen.
Golkar masih stabil pada Pemilu 2014, dengan memperoleh suara 14,75 persen. Sementara di Pemilu 2019 lalu Golkar lagi-lagi menurun dan harus puas di angka 12,31 persen.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah, mengatakan Partai Golkar sebetulnya dianggap sebagai partai yang berhasil terbebas dari turbulensi politik di pemilu 1999 sampai 2004. Pada 2004 Golkar justru menang.
"Pasca 2004 Golkar tidak lagi pernah menang di parlemen sehingga posisinya tetap stabil dibawah PDIP bahkan sampai 2019," ujar Dedi kepada VOI, Senin, 18 Oktober.
Namun, kata Dedi, Partai Golkar masih beruntung memiliki Airlangga Hartarto yang mampu meredam terpaan angin dualisme antara kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Airlangga terpilih menjadi ketua umum yang disambut kesolidan di tubuh partai berusia 57 tahun itu.
"Potensi di 2014 terbaca, ada pergerakan salah satunya adalah dimana Airlangga menihilkan konflik internal. Kedua, konsolidasi terbangun ditingkat internal baik kalangan elit sampai kalangan kader tingkat bawah," jelas Dedi.
Menurutnya, paling tidak Airlangga saat ini adalah satu-satunya tokoh yang dijagokan sebagai capres Golkar tanpa adanya saingan.
"Adanya ketokohan Airlangga sampai hari ini paling tidak, tidak adalagi tokoh lain yang diwacanakan akan merebut potensi keterusungan di partai Golkar," katanya.
Keberhasilan Airlangga memimpin beringin dicatatkan kembali pada Pilkada 2020. Di mana Partai Golkar berhasil menduduki posisi puncak karena banyak calon usungan partai Golkar yang memenangi pilkada.
"Dengan beberapa skema itu lah kemudian bacaan di 2024, Partai Golkar besar kemungkinan bertahan atau bahkan memenangi pemilu. Meskipun sulit karena (selisih, red) dengan PDIP yang cukup jauh," katanya.
BACA JUGA:
Diketahui, dalam survei IPO yang dirilis Sabtu, 14 Agustus, PDIP teratas dengan elektabilitas 19,5 persen. Kedua Partai Golkar 13,8 persen, dan Gerindra 12,6 persen.
"Kalau di lihat dari data survei IPO pada 2-10 Agustus kemarin memang Golkar ditempatkan sebagai partai yang stabil. Artinya ada peningkatan dari sebelumnya, sementara PDIP turun. Tapi seturun-turunnya PDIP tetap di posisi teratas. Begitu pun Gerindra yang menurun di posisi 2 ke posisi 3 karena pergeseran Golkar yang meningkat," terang Dedi.
Selain Pilkada, Dedi menilai, Partai Golkar pun berpeluang menjadi juara umum Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024. Sayangnya, untuk menang Pemilihan Presiden (Pilpres) Golkar masih abu-abu jika tidak berkoalisi dengan partai politik lain.
"Upaya menang pileg 2024 mungkin bagi Partai Golkar. Tetapi apakah kemudian Golkar akan sendiri dalam posisi di pengusungan Pilpres nah ini yang agak sulit. Kenapa? Karena partai lain terutama PDIP dan Gerindra mereka punya upaya untuk menang di 2024," paparnya.
Dengan kondisi itu, sambung Dedi, yang paling rasional adalah Golkar bisa menang Pileg 2024 begitu pula dengan Pilpres dengan syarat jika berhasil membangun koalisi yang solid. Koalisi solid itu salah satunya ditandai dengan kembalinya seluruh partai Golkar yang saat ini sudah sukses memimpin partai berbeda.
"Misalnya yang berhasil menggabungkan Gerindra, NasDem, dan partai yang kecil seperti Hanura yang semuanya berasal dari Golkar, disatukan dalam koalisi kuning. Mungkin saja menjadi potensi kemenangan Pilpres bagi Golkar," pungkas Dedi Kurnia Syah.