Bagikan:

JAKARTA - Berbagai tuduhan dialamatkan kepada aplikasi TikTok, salah satunya disebutkan bahwa jaringan sosial dan platform video musik Tiongkok ini digunakan spionase. Untuk itu, Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi Communication and Informatian System Security Research Center (CISSReC) menyarankan pejabat tidak bermain TikTok bila mereka khawatir. 

Namun sesungguhnya, secara umum tidak ada yang mencurigakan dari aplikasi asal Republik Rakyat Tiongkok (RRT) ini. Hal tersebut diungkapkan pakar keamanan siber dari CISSReC, Dr. Pratama Persadha.

"Dari hasil analisis CISSReC, aliran data TikTok secara umum tidak ada yang mencurigakan," kata Dr. Pratama Persadha, melansir Antara, Minggu, 26 Juli.

Pratama lantas mencontohkan alamat ip 161.117.197.194 yang menuju Singapura, lalu 152.199.39.42 menuju Amerika. Pada saat dites dengan malware analysis yang menggunakan sampel dari 58 vendor antivirus, malware tidak ditemukan.

"Saat kami coba cek dengan malware analysis, tidak ada aktivitas mencurigakan saat menginstal TikTok, tidak ada malware yang bersembunyi," kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC ini.

Bila memang mengandung malware, menurut dia, sebenarnya tidak hanya AS yang akan melarang TikTok, tetapi Google akan menghapus TikTok dari Playstore mereka. Akan tetapi, hal ini juga tidak dilakukan Google.

Tuduhan terhadap TikTok, kata Pratama, memang cukup serius karena tidak hanya sebatas collecting data di aplikasinya, tetapi juga dicurigai ada aliran data pengguna ke Tiongkok.

Di Eropa, yang dilakukan adalah pengawasan data karena hal ini menjadi perhatian serius bagi masyarakat dunia. Menurut Pratama, sebenarnya hal yang sama juga bisa diarahkan ke Amerika Serikat, apalagi negara ini memiliki aturan Foreign Surveillance Act (Undang-Undang Pengawasan Intelijen Asing) yang memungkinkan pihak aparat di AS untuk masuk dan mengambil data raksasa teknologi.

"Yang paling masuk akal dilakukan adalah para pejabat penting dan lingkarannya jangan bermain TikTok bila memang khawatir," kata Pratama menegaskan.

Jika masyarakat mau memakai, lanjut dia, sebenarnya tidak ada masalah. Namun, bila memang ada kebutuhan para pejabat serta politikus untuk branding diri atau lembaga, sebaiknya menggunakan gawai yang berbeda dari gawai yang sehari-hari mereka pakai.

Pratama lantas menyarankan untuk mengatur pengamanan pengaturan privasi pengguna di masing-masing gawai lewat permission di tiap aplikasi.

Ia menjelaskan bahwa permission adalah permintaan dari aplikasi untuk kebutuhan aplikasi yang muncul dengan sederet keterangan, meminta akses kamera, mikropon, telepon, log, dan lainnya.

"Kebanyakan pengguna meremehkan, menganggap pesan tersebut hanya informasi, padahal sangat penting," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.