Bali Masih Sepi, Cerita Mereka yang Terdampak dari Pedagang hingga Tukang Pijat
Pasar Seni Kuta Bali (Dafi-VOI)

Bagikan:

BADUNG - Kunjungan turis asing maupun wisatawan lokal belum ramai di Pasar Seni Kuta, pusat oleh-oleh khas Bali, di wilayah Kuta, Kabupaten Badung, Bali.

Banyak kios memilih tutup. Sementara mereka yang ‘bertaruh’ harapan membuka kiosnya pun harus merasakan dampak besar, lesunya penjualan.

"Sama sekali tidak ada. Saya berapa kali buka tidak ada tamu, sepi sekali. Wisatawan lokal paling ada satu dua (yang belanja). Tapi jarang sekali, dan mereka (kebanyakan) hanya jalan-jalan," kata Wayan Suri (62) saat ditemui di kios dagangnya, Jumat, 15 Oktober.

Perempuan warga Kuta ini sudah berjualan pakaian dan suvenir di Pasar Seni sejak tahun 1980. Kondisi saat ini, di masa pandemi COVID-19 menjadi situasi tersulit baginya. 

Tak ada pemasukan tapi harus tetap membayar lapak kios Rp15 juta per tahun. Suri pun mau tak mau terpaksa meminjam modal ke bank. 

“Tidak ada pemasukan, iya minjem uang ke bank. Saya jarang-jarang buka, iya kadang dua hari sekali. Waktu itu pernah tutup  sekitar 4 dan 5 bulan tidak buka selama COVID-19," tuturnya.

Dulu sebelum pandemi COVID-19, penjualan pakaian dan suvenir di kiosnya bisa meraup Rp500-600 ribu per hari saat ramai wisatawan. Tapi bila kondisinya sepi, penghasilan Suri pun anjlok, bahkan pernah hanya mendapatkan Rp25 ribu.

FOTO Dafi-VOI

Di kondisi pandemi, Suri sangat kesulitan. Dia bahkan berjualan canang sekadar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 

"Sekarang berapa kali sudah bukam tidak pernah dapat uang, tidak ada tamu. Paling saya bikin canang dijual ke pasar. Suami tidak kerja sama-sama (jualan) di sini dan anak saya ada empat," kata Suri.

Suri berharap dibukanya penerbangan internasional memberi dampak baik dengan datangnya wisatawan mancanegara.

Cerita sama soal sulitnya bertahan masa pandemi diutarakan Nenek Nyoman. Sudah puluhan tahun dia menjadi tukang pijat di Pantai Kuta, Bali. 

Memang ada wisatawan lokal yang datang ke Pantai Kuta. Namun mereka yang membutuhkan jasa pijatan tangannya sangat jarang. Hari ini saja, Nyoman baru mendapat uang Rp25 ribu.

"Uangnya sudah habis buat beli minuman dan makanan," ujarnya tertawa.

Dulu, nenek Nyoman biasa memijat tamu asing dan wisatawan lokal 2 hingga 3 orang per hari. Namun saat ini kondisinya berbeda. 

"Masih sepi tidak ada tamu. Ada sedikit saja  wisatawan lokal banyak tukang pijat sekarang. Minta sama anak ada tiga anak saya," ucapnya.