JAKARTA - Ribuan mahasiswa di Thailand membuat gerakan turun ke jalan. Mereka menuntut Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha yang baru menjabat setahun mundur. Pasalnya dibawah kekuasannya, pemerintahan dianggap berjalan tak demokratis.
Demonstrasi besar-besaran di tengah pandemi COVID-19 telah bergulir sejak Sabtu, 18 Juli. Melansir CNN, sekitar 3.000 orang berkumpul di Monumen Demokrasi Bangkok untuk menyerukan adanya pembubaran parlemen, penyusunan ulang konstitusi, dan mendorong pihak berwenang untuk berhenti mengintimidasi para aktivis.
Protes juga meluas hingga ke kota-kota kecil di seluruh negeri. Mereka bertekad akan terus melakukan aksi yang sama dengan lebih banyak massa dalam beberapa hari mendatang.
Gerakan ini bisa dibilang merupakan bom waktu yang terakumulasi sejak pergolakan politik terjadi pasca kudeta militer 2014. Massa kadung kesal lantaran janji-janji manis untuk memulihkan demokrasi hanya sebuah pepesan kosong. Sebaliknya, yang masyarakat dapatkan hanyalah penindasan hak-hak sipil termasuk soal kebebasan berpendapat.
Pada Pemilu 2019 misalnya, asa para pemuda sempat muncul ketika partai-partai baru yang beraliran pro-demokrasi mulai bermunculan. Namun mereka dijegal oleh konstitusi hasil rancangan militer, yang memberi wewenang para jenderal untuk tetap memegang kekuasaan melalui senat. Sehingga mereka masih bisa berkuasa meski tak terpilih menjadi PM.
Partai Phak Anakot Mai (Future Forward Part) misalnya. Kendaraan politik yang dikenal sebagai partai pro-demokrasi itu berhasil meraup jumlah suara tertinggi ketiga dalam pemilu 2019. Namun partai itu dibubarkan pada Februari, oleh penguasa.
Peristiwa itu lantas menyulut amarah para pemuda. Mereka turun ke jalan-jalan, seraya memprotes pembubaran yang dianggap tak demokratis tersebut.
Banyak pemuda Thailand merasa pemerintahan PM Prayut Chan-o-cha gagal memenuhi janji untuk memulihkan demokrasi. Selain itu, Prayut juga dianggap tak berbuat banyak dalam upaya memperbaiki prospek ekonomi.
Sementara itu wajah-wajah lama masih bercokol di dunia politik Thailand selama bertahun-tahun. Masyarakat semakin frustrasi karena upaya untuk mereformasi struktur kekuasaan pada akhirnya gagal.
Ancaman masa depan
Thitinan Pongsudhirak, ahli politik dan direktur Institute of Security and International Studies di Chulalongkorn University, mengatakan gerakan mahasiswa meletup karena masa depannya terancam. "Jika Anda mendengarkan mereka, satu kata yang selalu disertakan adalah: masa depan," ujarnya.
"Mereka tidak memiliki masa depan. Orang-orang muda ini selama 20 tahun terakhir hidup di bawah politik Thailand dan bertahan dengan dua kudeta militer, namun pada saat yang sama Thailand tidak ke mana-mana," kata Pongsudhirak.
Selain politik yang terlalu disetir oleh militer, masalah lain yang menjadi perhatian adalah sistem monarki. Pada demonstrasi yang digelar Sabtu lalu, para demonstran menyindir adanya monarki dengan berjalan jinjit di sebuah garis.
Di Thailand, mereka yang mengkritik keluarga kerajaan akan menghadapi hukuman penjara. Keluhan-keluhan yang ada terhadap rezim hanya bisa dipendam secara pribadi. Nekatnya beberapa pengunjuk rasa seperti sekarang, menunjukkan tingkat kekecewaan mereka terhadap rezim Thailand saat ini sudah tak terbendung.
Salah satu pemicu gerakan ini yakni saat terjadinya peristiwa menghilangnya seorang aktivis muda pro-demokrasi, Wanchalearm Satsaksit. Sebelumnya ia diketahui tinggal di Kamboja setelah melarikan diri dari kudeta 2014.
BACA JUGA:
Wanchalearm, berafiliasi dengan Front Bersatu untuk Demokrasi Melawan Kediktatoran, yang dikenal sebagai "Baju Merah." Kelompok itu adalah pendukung Thaksin Shinawatra, mantan PM Thailand yang digulingkan dalam kudeta 2006. Adiknya, Yingluck Shinawatra dicopot dari kekuasaan sebelum kudeta 2014. Ketika militer mengambil alih, banyak aktivis Kaos Merah dan anti-kerajaan melarikan diri ke Kamboja.
Selain itu, Wanchalearm adalah salah seorang pengkritik pemerintah yang vokal. Meski berada di Kamboja, ia masih aktif melemparkan kritik terhadap pemerintah Thailand. Sehari sebelum menghilang, ia dilaporkan mengunggah video anti-pemerintah di Facebook. Komite PBB untuk Penghilangan Paksa dan Parlemen Eropa telah meminta pihak berwenang Kamboja dan Thailand untuk melakukan pemeriksaan lanjut.