JAKARTA - Kekuasaan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha makin lemah seiring demonstrasi dan protes yang makin meluas. Namun, pengunduran diri Prayuth Chan-ocha tak pernah jadi satu-satunya tujuan demonstrasi. Pengunjuk rasa menyatakan akan tetap berdemo sekalipun Prayuth mundur. Sebab, dari awal, tujuan mereka adalah reformasi monarki.
Sebuah jajak pendapat Universitas Suan Dusit, Bangkok yang terbit Minggu, 25 Oktober menunjukkan lebih dari 62 persen peserta menyatakan ketidakpuasan terhadap Prayuth sebagai salah satu tujuan demonstrasi. Mantan panglima militer itu memerintah Thailand selama lebih dari enam tahun. Kekuasaan jatuh ke tangan Prayuth lewat kudeta pada tahun 2014. Prayuth kemudian melanggengkan kekuasaannya tahun lalu melalui pemilihan umum yang digelar di bawah konstitusi buatan rezimnya sendiri.
Terakhir, Prayuth menegaskan tak akan mundur meski pengunjuk rasa mengajukan tenggat waktu yang terus berulang. Selama sesi khusus parlemen pekan ini, Prayuth mengatakan pemerintahannya akan dimulai kembali pada bulan November, dengan salah satu agenda yaitu melanjutkan proses pengubahan konstitusi yang sempat terhenti karena anggota parlemen yang Prayuth sebut memiliki masalah "ingatan singkat."
“Jika saya tidak mengambil alih kekuasaan pada tahun 2014, apa yang akan terjadi?” katanya kepada parlemen, Selasa, 27 Oktober. “Apakah akan ada kerusuhan di Thailand? Apakah Anda lupa semua hal yang terjadi sebelum saya masuk? Apakah Anda melupakan semua kekacauan, semua korupsi?”
Di tengah proses politik yang begitu ketat, pengunjuk rasa mengingatkan kembali soal tiga pokok tuntutan, di mana salah satu yang paling krusial adalah meruntuhkan sistem politik yang direkayasa oleh elite kerajaan. Artinya, pengunjuk rasa akan tetap di jalan dan tempat-tempat umum untuk konstitusi yang lebih demokratis dan penguatan akuntabilitas untuk Raja Maha Vajiralongkorn.
BACA JUGA:
“Gerakan protes tidak akan berakhir sampai kami mencapai ketiga tuntutan kami,” Jatupat Boonpattararaksa, seorang pemimpin utama dalam protes. “Bahkan jika Prayut berhenti, seseorang seperti Prayut akan menggantikannya dan kita akan kembali ke masalah yang sama lagi. Semua perubahan dalam pemerintahan, piagam, dan monarki perlu terjadi pada saat yang bersamaan," katanya lewat sambungan telepon, dikutip Japantimes.co, Rabu, 28 Oktober.
Jatupat juga menegaskan pengunjuk rasa tak akan terlena dengan solusi jangka pendek. Demonstrasi Hong Kong, menurut Jatupat jadi pembelajaran berharga bagi mereka. Para pengunjuk rasa bahkan mengadopsi taktik Hong Kong untuk membuat polisi tak seimbang. Perjuangan yang membuahkan hasil karena Prayuth belakangan mencabut keadaan darurat di Bangkok.
Sama seperti protes Hong Kong yang menuntut demokrasi yang mengancam kekuatan yang mengakar, para demonstran Thailand berusaha menjungkirbalikkan elite royalis yang telah menjalankan negara itu selama sebagian besar sejarahnya. Dan ketika China berhasil membendung protes berskala besar dengan menerapkan Undang-Undang Keamanan Nasional yang represif, para pemimpin Thailand berpotensi menghadapi risiko yang lebih besar dengan respons yang lebih agresif.