Bagikan:

JAKARTA - Menteri Thailand untuk Kantor Perdana Menteri Tewan Liptapanlop akan mengundurkan diri dalam waktu dekat. Kabar itu disampaikan langsung oleh juru bicara partai yang menaunginya, Chart Pattana.

Pengunduran diri Liptapanlop akan jadi pengunduran diri kelima di kabinet Perdana Menteri (PM) Thailand Prayuth Chan-ocha. Kabinet ini sebelumnya telah diwarnai pengunduran dari para menteri dalam lima hari.

Melansir Reuters, Senin, 20 Juli, Juru Bicara Partai Chart Pattana Yaowapa Boorapolchai mengatakan bahwa kepemimpinan partai telah memutuskan agar Tewan meninggalkan kabinet tersebut. Pihak partai juga beralasan langkah tersebut juga untuk membuka jalan bagi perombakan kabinet.

Chart Pattana adalah satu di antara 20 partai koalisi pemerintah yang dipimpin oleh Prayuth dan hanya memegang satu posisi di kabinet. Pengunduran diri Tewan terjadi setelah Menteri Keuangan Uttama Savanayana, Wakil Perdana Menteri Somkid Jatusripitak dan dua menteri lainnya, keluar dari kabinet Prayuth pada Kamis, 16 Juli.

Oposisi publik terhadap Prayuth telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Sejak pemilihan tahun lalu, pengadilan telah membubarkan partai oposisi terbesar kedua, memberikan partai koalisi berkuasa dan kontrol lebih kuat di parlemen. Partai Palang Pracharat yang menaungi Prayuth, berkampanye tentang visi budaya tradisional Thailand dan kesetiaan kepada Raja Maha Vajiralongkorn.

Demonstrasi pemerintahan dan monarki

Sebelumnya pada Sabtu, 18 Juli, sekitar 2.500 orang melakukan demonstrasi menuntut pengunduran diri pemerintah dan pembubaran parlemen. Aksi tersebut menentang larangan berkumpul untuk menekan penyebaran COVID-19 dan menjadi demonstrasi jalanan terbesar sejak kudeta militer 2014.

Orang-orang berpawai dan dipimpin oleh mahasiswa. Mereka berkumpul di dekat Monumen Demokrasi Bangkok seraya mengutip serangkaian keluhan terhadap pemerintahan PM Prayuth Chan-ocha yang baru memerintah selama setahun.

Prayuth Chan-ocha sendiri adalah mantan kepala militer yang menggulingkan pemerintahan enam tahun lalu. Para peserta demo mengeluarkan tiga tuntutan: pembubaran parlemen, diakhirinya pelecehan terhadap kritik pemerintah, dan amandemen konstitusi tertulis militer yang menurut para kritikus menjamin kemenangan partai Prayuth dalam pemilihan tahun lalu.

"Bagaimana kita bisa baik-baik saja dengan kurangnya demokrasi seperti ini?" kata aktivis mahasiswa Tattep Ruangprapaikit di hadapan para peserta demo.

Namun demonstrasi tersebut juga diwarnai oleh tuntutan terselubung dengan memprotes monarki Thailand yang kuat. Padahal ada hukum yang melarang kritik terhadap raja. Protes seperti itu dulunya tidak pernah dilakukan.

Polisi bersiaga tetapi tidak bergerak menghentikan protes. Monumen itu akhirnya ditutup dengan tulisan: Tidak diizinkan masuk tanpa izin. Pemeliharaan sedang berlangsung.

Protes dimulai dengan kelompok-kelompok mahasiswa. Tetapi, pada malam hari, ratusan orang lainnya datang untuk bergabung, membengkak jumlahnya menjadi sekitar 2.500 orang.

Demonstrasi bubar sekitar tengah malam. Tetapi, penyelenggara mengatakan mereka akan kembali ke jalan dalam dua minggu jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.

Thailand secara resmi adalah monarki konstitusional. Namun, penghinaan terhadap raja dapat dikenai konsekuensi hukum hingga 15 tahun penjara. Banyak konservatif memandang monarki sebagai sesuatu yang sakral.

Beberapa pidato pada demo saat itu membuat referensi terselubung untuk monarki. "Ini negara kita, tapi rumah siapa di Jerman?" kata salah satu pemimpin siswa di panggung kecil yang didirikan di jalan.

Raja Vajiralongkorn memiliki tanah di Jerman, tempat ia menghabiskan banyak waktu. Selain itu terdapat spanduk bertuliskan, "Partai Rakyat Tidak Mati" --sebuah rujukan ke partai politik yang revolusinya mengakhiri pemerintahan kerajaan mutlak pada 1932.

Prayuth, bulan lalu secara terbuka memperingatkan para aktivis politik untuk tidak mengambil risiko dengan mengkritik monarki.