Bagikan:

JAKARTA - Majalah satire, Charlie Hebdo merilis karikatur Recep Tayyip Erdogan untuk sampul majalah edisi terbaru mereka. Presiden Turki itu digambarkan dalam latar yang cabul. Di saat yang sama, blok-blok pendapat terbentuk di antara pemimpin Eropa lain. Belanda dan Jerman berdiri di belakang kebebasan berpendapat yang dibela Macron.

Turki merespons keras, menyebut majalah Prancis itu telah mempraktikkan rasisme budaya. “Kami mengutuk upaya paling menjijikkan dari publikasi ini untuk menyebarkan rasisme dan kebencian budayanya,” kata asisten pers Erdogan, Fahrettin Altun, dikutip SCMP, Rabu, 28 Oktober.

“Agenda anti-Muslim Presiden Prancis Macron membuahkan hasil! Charlie Hebdo baru saja menerbitkan serangkaian yang disebut kartun penuh dengan gambar tercela yang konon adalah Presiden kita."

Karikatur berjudul "Erdogan: Secara Pribadi, Dia Sangat Lucu" itu menggambarkan Erdogan dengan kaus dan celana dalam tengah meminum sekaleng bir dan mengangkat rok seorang wanita berhijab. Karikatur dirilis daring pada Selasa malam, 27 Oktober.

Intervensi Charlie Hebdo terjadi di tengah memanasnya perang kata-kata antara Presiden Prancis Emmanuel Macron, Erdogan, dan sederet pemimpin Eropa lain. Akar pertikaian bermula dari peristiwa pemenggalan guru sekolah Prancis, Samuel Paty oleh muridnya.

Paty dipenggal setelah menunjukkan karikatur Nabi Muhammad di dalam kelas kebebasan berbicara yang ia pandu. Selanjutnya, Macron bersumpah Prancis akan tetap berpegang pada tradisi dan hukum sekuler Prancis yang menjamin kebebasan berbicara.

Tradisi dan hukum sekuler Prancis pada prinsipnya menempatkan sudut pandang agama dalam ranah berbeda dengan sudut pandang bernegara, baik sosial, budaya, politik, pendidikan, dan lainnya. Hal itu juga memberi ruang pada apa yang dilakukan Paty, bahkan publikasi seperti yang dilakukan Charlie Hebdo yang sangat anti-agama.

Hubungan antara kasus Paty dan Charlie Hebdo memang tak terpisahkan. Kartun Nabi Muhammad rilisan Charlie Hebdo adalah objek studi yang dipertontonkan Paty di dalam kelasnya.

Kartun Nabi Muhammad itu juga yang menyebabkan Charlie Hebdo diserang kelompok ekstremis pada 2015. Serangan itu menewaskan 12 orang, termasuk beberapa kartunis paling terkenal.

Macron, dalam pernyataannya juga menyebut Islam sebagai agama yang krisis. Hal itu yang jadi pemicu utama reaksi keras berbagai negara mayoritas Muslim di dunia. Macron disebut telah menyudutkan Islam, dan yang paling parah: melanggengkan Islamofobia.

Selain kecaman, beberapa negara --termasuk Turki-- bahkan memboikot produk Prancis. Blok-blok kelompok pendapat maeluas setelah Perdana Menteri Belanda Mark Rutte membela politisi sayap kanan negaranya, Geert Wilders yang membagikan kartun  Erdogan dengan topi Ottoman menyerupai bom dengan sumbu yang menyala.

“Saya memiliki pesan untuk Presiden Erdogan, dan pesan itu sederhana: Di Belanda, kebebasan berekspresi adalah salah satu nilai tertinggi kami,” kata Rutte.

Sebelumnya, para pemimpin Eropa termasuk Kanselir Jerman Angela Merkel membela Macron setelah Erdogan menyarankan dia melakukan "pemeriksaan mental."