Dulu Tattep Ruangprapaikitseree Ciuman Sejenis di Parlemen, Kini Ia Demo di Jalanan Desak Mundur PM Thailand
Demo mendesak mundur PM Thailand Prayuth Chan-ocha)

Bagikan:

JAKARTA - Karena berciuman, kali pertama Tattep Ruangprapaikitseree menjadi pusat perhatian politik Thailand. Bagaimana tak heboh luar biasa. Ciuman Tattep dan sang kekasih dilakukan di hadapan parlemen. Kaum konservatif meledakkan badai kontroversi.

Tak cuma ciuman. Tattep dan sang kekasih juga berpelukan. Hal itu dilakukan Tattep saat mengampanyekan hak pernikahan sesama jenis pada Desember 2019. Perbincangan di media sosial riuh luar biasa, terutama dengan resistensi kaum konservatif.

Sembilan bulan kemudian, perubahan yang sekarang dia tuntut untuk Thailand bahkan menjadi lebih mendasar bagi gerakan protes. Kini para pengunjuk rasa menantang sebuah sistem pemerintahan yang telah lama didominasi oleh tentara dan istana.

Melansir Reuters, Jumat, 11 September, sejak pertengahan Juli pengunjuk rasa telah menyerukan kemunduran Perdana Menteri (PM) Thailand Prayuth Chan-ocha, yang juga mantan pemimpin kudeta. Para pengunjuk rasa menginginkan konstitusi baru, pemilihan umum yang baru, dan diakhirinya kekerasan terhadap aktivis.

Beberapa pengunjuk rasa juga mengupayakan reformasi untuk mengekang kekuasaan kerajaan di bawah kepemimpinan Raja Maha Vajiralongkorn. Meski tidak ada pemimpin keseluruhan dari gerakan yang terfragmentasi, protes 18 Juli oleh Gerakan Pemuda Bebas secara tak terduga menarik sekitar 2.500 orang.

Aksi tersebut membantu membangun momentum untuk demonstrasi hampir setiap hari sejak saat itu. “Saat itu belum ada yang memimpin protes, jadi saya putuskan untuk melakukannya,” kata Tattep yang juga akrab disapa Ford.

Meski begitu masif, namun pihak Pemerintah Thailand tidak menentang demonstrasi, kata juru bicara Anucha Burapachaisri. “Pemuda bisa mengungkapkan pikirannya asalkan masih di bawah aturan hukum. Saya ingin mereka terhindar dari isu sensitif karena bisa menimbulkan konflik antar masyarakat,” ujarnya.

Tattep tumbuh di jantung kota Bangkok. Ayahnya bekerja sebagai sopir pengiriman untuk aplikasi ponsel. Ketika ibu Tattep meninggal enam tahun lalu, mereka berdua pindah ke satu kamar di rumah bersama sementara dia menyelesaikan studinya.

Tetapi ayahnya khawatir protes itu bisa berubah menjadi kekerasan, mengingat dekade kekacauan jalanan berdarah sebelum kudeta Prayuth yang terjadi pada 2014. “Saya mendukungnya karena gerakannya untuk negara: bukan hanya tentang dia,” kata ayahnya, Somrak Ruangprapaikitseree.

Tim kuning dan merah

Tattep mengatakan kesadaran politiknya dimulai selama protes yang terjadi antara kelompok berkemeja kuning yang merupakan pro-demokrasi dengan orang-orang yang mengenakan kemeja merah, yang mana adalah pendukung mantan PM Thailand Thaksin Shinawatra. Protes tersebut berujung dengan kekerasan.

Meski Tattep awalnya berharap menjadi seorang apoteker, dia beralih dengan mempelajari ilmu politik dan lulus dari Universitas Chulalongkorn Bangkok pada 2020. Dia dan kekasihnya, Panumas Singprom bertemu di sebuah aplikasi kencan dan menyadari bahwa mereka berada di pertemuan politik yang sama.

“Kami tidak ingin menjadi tua dan anak-anak bertanya kepada kami 'Ketika negara menghadapi ketidakadilan, apa yang Anda lakukan?'” Kata Panumas, yang sering berada di sisi Tattep.

Pemilu 2019 memicu seruan untuk perubahan setelah Prayuth kembali terpilih sebagai PM Thailand dalam pemungutan suara yang menurut lawannya tidak adil. Namun Prayuth bersikeras bahwa proses pemungutan suara sudah sangat adil.

Selain mengkampanyekan hak LGBT, Tattep dan Panumas mendirikan forum diskusi di Facebook yang menjadi Gerakan Pemuda Merdeka. Forum tersebut memiliki gerakan yang lebih luas daripada hanya membela hak LGBT.

“Biarkan ini berakhir pada generasi kita,” teriak Tattep saat dia naik ke panggung pada 16 Agustus di demonstrasi Bangkok yang dihadiri lebih dari 10 ribu orang.

Pemain sayap kanan terkemuka Warong Dechgitvigrom mengatakan pengunjuk rasa pemuda seperti Tattep telah disesatkan, terutama ketika datang untuk mempertanyakan monarki. “Tidak mungkin siswa sekolah menengah atau universitas dapat memahami politik secara mendalam,” kata Dechgitvigrom.

Tattep telah mengambil pendekatan yang tidak terlalu radikal daripada beberapa pemimpin aktivis mahasiswa lainnya, yang secara terbuka telah mengemukakan 10 poin untuk reformasi monarki. Tetapi Tattep mengatakan ini hanya karena dia melihat perubahan konstitusi adalah sebuah prioritas daripada reformasi monarki.

Dicari oleh polisi atas mereka dalam mengatur protes 18 Juli, Tattep dan Panumas ditangkap pada 26 Agustus. Mereka termasuk di antara aktivis yang dituduh melanggar Undang-Undang Keamanan Internal dan keputusan darurat untuk menghentikan penyebaran COVID-19. Mereka dibebaskan dengan jaminan pada hari yang sama. Tattep mengatakan tuduhan itu tidak akan menghentikannya.

“Saya ditekan oleh pemerintah, orang-orang dari gerakan, oposisi, dan bahkan pendukung karena mereka mengharapkan saya untuk memimpin,” katanya. 

“Sangat berharga jika saya dapat menjadi bagian dari gerakan yang membawa negara menuju demokrasi sejati,” tambah Tattep.