Bagikan:

JAKARTA - Pembicara dalam protes antipemerintah Thailand menuntut reformasi terhadap monarki Raja Maha Vajiralongkorn. Secara publik, ia menyerukan agar kekuatan kerajaan dibatasi.

Hal ini jadi peristiwa langka sejatinya. Di Thailand, mencemarkan nama baik monarki dapat dihukum hingga 15 tahun penjara di bawah undang-undang (UU) Lese Majeste.

Namun, saat unjuk rasa itu polisi tak menghentikan keenam pembicara yang mengkritik monarki. Hanya saja, pihak kepolisian mengatakan bahwa setiap dugaan pelanggaran akan diselidiki.

Hal menarik lain dari unjuk rasa itu adalah karena dua ratusan pengunjuk rasa berpakaian seperti penyihir fiksi Harry Potter dan karakter lainnya. Hal itu mereka sebut sebagai referensi untuk menghilangkan ketidakadilan di bawah monarki.

Pengacara bernama Anon Nampa menuduh istana mengambil kekuatan yang merusak demokrasi. Selain itu, istana sama sekali tidak bertindak dalam menghadapi serangan terhadap penentang pemerintahan Perdana Menteri (PM) Prayuth Chan-ocha yang juga seorang mantan pemimpin junta.

Kendali raja

Setelah Maha Vajiralongkorn naik takhta pada 2016, istana membutuhkan revisi konstitusi baru yang memberinya kekuatan darurat yang lebih besar. Sejak saat itu raja mengambil kendali pribadi atas beberapa unit tentara dan aset istana senilai puluhan miliar dolar.

Sementara itu, beberapa aktivis Thailand mengeluhkan kekerasan oleh pihak berwenang. Mereka mengatakan setidaknya sembilan tokoh oposisi yang tinggal di luar negeri telah menghilang. Dua aktivis kemudian ditemukan tewas. 

"Membicarakan hal ini bukanlah tindakan untuk menjatuhkan monarki, tetapi untuk memungkinkan monarki itu melakukan suatu hal pada masyarakat Thailand dengan cara yang benar dan secara sah di bawah monarki yang demokratis dan konstitusional," kata Anon.

Dua kelompok mahasiswa kemudian membacakan tuntutan yang dimulai dengan "membatalkan dan mereformasi undang-undang yang memperluas kekuasaan raja dan yang dapat memengaruhi demokrasi di mana raja adalah kepala negara."

Wakil juru bicara pemerintah, Ratchada Thanadirek mengatakan semua keputusan terkait hukuman pengkritik monarki ada di tangan pihak kepolisian. Hal tersebut termasuk apakah mereka akan melakukan tindakan terhadap para pengunjuk rasa.

"Pemerintah ingin para pemuda yang melakukan protes untuk mematuhi hukum, sehingga mereka dapat terus menggunakan hak mereka untuk membuat tuntutan dan negara dapat tetap damai," katanya.

Para mahasiswa dari Universitas Mahanakorn dan Kaset juga meminta pihak berwenang untuk mendengarkan para pengunjuk rasa. Mereka meminta agar reformasi hukum 'lese majeste' yang melarang kritik terhadap monarki segera dilakukan.

Para pengunjuk rasa melakukan protes untuk pengunduran diri PM Prayuth dan merombak konstitusi setiap hari. Sementara beberapa plakat telah membuat kritik terselubung terhadap monarki dan protes untuk monarki ini adalah pertama kalinya dilakukan secara terbuka.

"Kami belum dapat menentukan pelanggaran apa yang telah dilakukan. Setiap pelanggaran berdasarkan hukum apa pun akan diproses untuk para penyelidik," kata Surapong Thammapitak, seorang perwakilan kepolisian.

Prayuth mengatakan dalam sebuah pidato bahwa tidak ada penuntutan berdasarkan undang-undang "lese majeste" baru-baru ini. Hal tersebut merupakaan permintaan raja. Namun Prayuth memperingatkan agar tidak terus mengkritik monarki.

Kritik sangat jarang terjadi dilakukan di bawah takhta ayah sang raja, Raja Bhumibol Adulyadej. Ia menjadi raja selama 70 tahun hingga pemerintahannya berakhir karena meninggal dunia pada 2016.

"Kritik terbuka semacam itu terhadap raja Thailand oleh non-elit di hadapan umum di Thailand - dengan keadaan polisi hanya berdiri - adalah yang pertama dalam sejarah Thailand," kata Paul Chambers, yang mengajar urusan internasional di Universitas Naresuan, Thailand.