Polri: Brigjen Nugroho Wibowo dan Irjen Napoleon Bonaparte Tak Terlibat Pencabutan <i>Red Notice</i> Djoko Tjandra
Kadiv Humas Polri, Irjen Argo Yuwono (Rizky Adytia Pramana/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Polri memastikan, Brigjen Nugroho Wibowo dan Irjen Napoleon Bonarpate tak terlibat dalam pencabutan red notice buronan kasus korupsi cessie (hak tagih) Bank Bali, Djoko Tjandra.

Kadiv Humas Polri, Irjen Argo Yuwono mengatakan, kesalahan kedua Jenderal itu hanya melanggar Standar Operasional Prosedur (SOP) yang mestinya dilakukan. Sehingga, diputuskan untuk menjatuhkan sanksi etik.

"Kita ada beberapa SOP di administrasi yang tidak dilakukan oleh Brigjen Nugroho dengan Kadiv Hubinter (Irjen Napoleon), maka itulah yang bersangkutan diberikan etik disana," ucap Argo di Lapangan Tembak Senayan, Jakarta, Rabu, 22 Juli.

Selain itu, kata dia, pencabutan red notice ini tak ada kaitannya dengan Polri. Sebab, pencabutan itu dilakukan oleh Interpol di Lyon, Prancis.

Katanya, sempat ada surat menyurat dengan pihak Imigrasi terkait red notice ini. Namun, hal itu bukan terkait proses pencabutan red notice. Melainkan, menyampaian informasi atau pemberitahuan soal red notice yang sudah terhapus.

"Itu sudah saya jelaskan ada kegiatan surat menyurat, kalau kemarin surat Pak Ses NCB itu menyampaikan kepada imigrasi (soal) ini lho red notice itu sudah terhapus," tegas Argo.

Pada kesempatan sebelumnya, Argo menyebut jika status red notice Djoko Tjanera terhapus otomatis dari National Central Bureaus (NCB) Interpol karena masa berlakunya sudah habis, dan tidak ada permintaan perpanjangan dari Kejaksaan Agung.

Dia merinci, awal penerbitan red notice pada 2009 dan berlaku selama 5 tahun. Sehingga pada 2014 habis dan sistem secara otomatis akan menghapus nama Djoko Tjandra dari daftar buronan interpol.

"Delete by system sesuai dengan artikel nomor 51 di interpol rules processing of data itu pasal 51 di article 51 itu ada tertulis delete automatical di sana," ucap Argo di Jakarta, Jumat, 17 Juli.

Adapun Djoko Tjandra merupakan buronan kasus pengalihan hak yang mengakibatkan terjadinya pergantian kreditur Bank Bali senilai Rp904 miliar yang ditangani Kejaksaan Agung.

Kejaksaan pernah menahan Joko Tjandra pada 29 September 1999 hingga Agustus 2000. Namun, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan ia bebas dari tuntutan karena perbuatannya bukan pidana melainkan perdata.

Selain itu, Kejaksaan mengajukan PK terhadap kasus Djoko ke Mahkamah Agung pada Oktober 2008. Akhirnya, majelis hakim menjatuhkan vonis dua tahun penjara terjadap Djoko Tjandra dan harus membayar Rp15 juta. Uang milik Joko di Bank Bali Rp546,166 miliar pun dirampas negara.