Penyensoran Informasi COVID-19 di China Direspons Aksi Tutup Mulut Seniman Kritis Nut Brother
Nut Brother (Instagram/@nutbros)

Bagikan:

JAKARTA - Seorang seniman Tiongkok bernama Nut Brother melakukan aksi tutup mulut selama 30 hari memprotes penyensoran informasi penting terkait COVID-19 yang dilakukan pemerintah. Penyensoran itu membuat warga Tiongkok khawatir bukan main.

Melansir Reuters, dalam aksi bertajuk #shutupfor30day itu, seniman 39 tahun menggunakan banyak bahan-bahan untuk menutup mulutnya. Kadang Brother Nut menggunakan penjepit logam, sarang tangan, lakban, hingga masker dengan tulisan “shut up”.

Dalam aksi terbarunya, Nut Brother menutup mulutnya dengan lakban bertuliskan “404” yang dikenal sebagai kode kesalahan akses untuk sebuah halaman website. Kode tersebut nyatanya sebagai bentuk pemblokiran informasi sensitif yang dilakukan pemerintah selama mewabahnya virus dari Wuhan.

Bukan cuma perkara COVID-19. Nut Brother juga memprotes kebiasaan pemerintah menghilangkan perbedaan pendapat. “Jika Anda bertanya kepada saya bagaimana seorang seniman harus mencerna perlakuan tidak adil, seperti kekerasan atau penyensoran, reaksi pertama saya adalah terus berjuang dengan seni,” kata Nut Brother.

Nut Brother juga menyinggung kegeramannya pada kepolisian yang mendiskreditkan sosok Li Wenliang, dokter yang memperingatkan keberadaan wabah virus corona di Tiongkok. Polisi menyebut Wenliang pembohong. Penebar keresahan. Wenliang yang kini telah meninggal akibat COVID-19 belakangan dianggap sebagai simbol perlawanan COVID-19 oleh warga Tiongkok.

"Kadang-kadang saya merasa pekerjaan saya mirip dengan aktivis atau jurnalis. Yang mana saya berusaha untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah sosial dan melakukan suatu gerakan untuk menghadapinya," katanya.

Nut Brother sebelumnya pernah melakukan aksi berjalan kaki di Beijing dengan menyalakan mesin penyedot debu bertenaga baterai untuk menyedot udara tercemar. Tak hanya itu. Pada tahun 2018, untuk mendapatkan perhatian pemerintah, Nut Brother memboyong band bergenre heavy metal guna bermain musik pada sebuah desa yang tercemar logam berat.

Berkat aksi itulah kemudian otoritas lingkungan setempat mulai menyelidiki penyebab kontaminasi di desa tersebut. “Kami membutuhkan ekspresi seni kapan pun dan di mana pun. Seni itu seperti bunga yang tumbuh di retakan, yang mana menjadi bukti bahwa kita menari pada masa yang paling sulit," tuturnya.