Penelitian Unpad: Wartawan di Lapangan Rentan Depresi karena COVID-19
Ilustrasi. (Ilham Amin/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Dampak yang diberikan COVID-19 memang begitu luar biasa. Bukan hanya fisik, karena dari sisi psikologis juga mampu memberikan dampak yang tidak main-main.

Hal itu terungkap dari penelitian yang dilakukan Akademisi Universitas Padjadjaran (Unpad) terkait dampak pandemi COVID-19 terhadap tren gejala depresif dan pelaku pada masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung berapa estimasi biaya gejala depresi yang terjadi pada kelompok masyarakat.

Berdasarkan kuesioner yang disebar, ada sejumlah kelompok yang sudah dipetakan yakni sebanyak 1.465 responden dari kelompok mahasiswa, 563 responden tenaga kesehatan, dan 98 responden wartawan dari berbagai wilayah di Indonesia berhasil terjaring dalam penelitian ini.

Penelitian ini dilakukan bersama peneliti dari Pusat Ekonomi dan Studi Pembangunan FEB Unpad, Fakultas Kedokteran, Fakultas Psikologi, dan Klinik Kesehatan Unpad. Instrumen penelitian menggunakan Center for Epidemiologic Studies Depression Scale (CESD)-10 dengan 10 item pertanyaan seputar kondisi psikis responden.

Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Dr. Adiatma Yudistira Manogar Siregar mengatakan, pandemi COVID-19 tidak hanya menghabiskan banyak biaya untuk penanganan penderita saja. Tetapi, juga biaya untuk menangani masyarakat yang terdampak secara mental akibat wabah ini.

"Kami tidak memetakan apakah seseorang itu depresi atau tidak, tetapi apakah ada gejala depresi atau tidak," katanya, dalam keterangan tertulis, Selasa, 21 Juli.

Adiatma mengatakan, hasil penelitian menunjukan sebanyak 47 persen responden mahasiswa mengalami gejala depresi. Sementara, dari kelompok wartawan sebanyak 45,92 persen responden, dan sekitar 28 persen responden dari kelompok tenaga kesehatan.

Lebih lanjut, Adiatma menjelaskan, wartawan yang masih ke luar rumah untuk meliput berita berpeluang lebih banyak memiliki gejala depresif ketimbang wartawan yang tidak keluar rumah.

Analisis statistika menunjukkan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan munculnya gejala depresi pada wartawan. Adiatma mengatakan, faktor ini berbeda dengan apa yang muncul pada mahasiswa. Salah satu faktor yang muncul adalah terkait status pegawai seorang wartawan.

"Orang sebagai wartawan tetap jauh lebih aman ketimbang wartawan tidak tetap/kontributor dari sisi finansial. Hal ini yang menjadi salah satu kemungkinan munculnya gejala depresif pada wartawan," jelasnya.

Menurut Adiatma, jika dihitung estimasi biaya depresinya menggunakan metode dan literatur yang sama dengan kelompok mahasiswa, maka dari 98 responden wartawan, terdapat 22 responden yang berisiko mengalami kemungkinan terjadi depresi.

"Bila dikalkulasikan dengan biaya depresi per orang, total biaya depresi mencapai Rp183 juta per tahun," ucapnya.

Sementara itu, kata Adiatma, persentase responden tenaga kesehatan (nakes) yang memiliki gejala depresif pada penelitian tersebut sebesar 28 persen. Hal ini jauh lebih rendah daripada persentase kelompok mahasiswa maupun wartawan.

"Mungkin rendahnya persentase ini karena tenaga kesehatan by training lebih siap menghadapi situasi seperti ini," katanya.

Adiatma berujar, nakes yang pernah kontak dan menangani pasien COVID-19 memiliki peluang 1,84 kali mengalami gejala depresif. Sebagai profesi yang berada di garda depan penanganan wabah, kemungkinan mengalami gejala depresif terhadap nakes cukup tinggi.

"Apabila dikalkulasikan estimasi biaya depresinya dengan formula yang sama, total biaya depresi untuk nakes mencapai Rp647 juta per tahun. Berdasarkan 563 sampel nakes, 77 orang berisiko mengalami kemungkinan depresi," tuturnya.

Depresi pada Mahasiswa

Kelompok mahasiwa, kata Adiatma, hampir 51,16 persen mahasiswa merasa pesimistis dan 42,98 persen mahasiswa merasa khawatir terhadap pandemi COVID-19. Selain itu, hampir 60 persen mahasiswa merasa media sosial mengakibatkan kecemasan.

Gejala depresif pada mahasiswa terjadi karena adanya pembatasan fisik serta didorong oleh sikap khawatir dan pesimitis. Adiatma menjelaskan, walau sebagian besar mahasiswa paham mengenai pembatasan sosial dan fisik, penerapannya justru kurang dilakukan.

Adiatma mengatakan, dari 47 persen responden mahasiswa yang memiliki gejala depresif, diperoleh angka 49,1 persen yang memiliki kemungkinan terjadi depresi.

Jika dihitung, dari 1.465 sampel maka diperoleh 338 jiwa yang berisiko mengalami depresi. Adiatma menyebut, berdasarkan analisis literatur, biaya depresi per orang sebesar Rp8,3 juta. Artinya, jika dikali 338 orang, maka total biaya depresinya mencapai Rp2,8 miliar.

"Ini adalah biaya per tahun. Jika dalam setahun (pandemi) tidak beres, biaya akan bertambah," katanya.