Bagikan:

JAKARTA - Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan, rancangan revisi Peraturan Daerah DKI Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan (RDTR) Zonasi akan segera dibahas pada tahun ini. 

Menurut Riza, pembaruan payung hukum ini menjadi prioritas yang akan dibahas oleh Pemprov DKI dan DPRD DKI. Sebab, rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai RDTR dan zonasi menjadi landasan hukum yang mengesahkan reklamasi di Ancol, Jakarta Utara.

"Revisi perda (RDTR dan zonasi, red) sedang diproses, ya, sama DPRD," kata Riza kepada wartawan, Minggu, 19 Juli.

Reklamasi Ancol akan dibuat seluas 155 hektare. Dengan rincian 35 hektare di kawasan Dunia Fantasi (Dufan) atau Pulau K dan 120 hektare di Ancol Timur atau Pulau L.

Dalam Perda DKI 1/2014, ketentuan reklamasi yang diatur hanya ada di Pulau K karena memiliki lokasi yang sama dengan Pulau K reklamasi Teluk Jakarta. Sementara, pada Pulau L terjadi pengurangan luas lahan dari Pulau L reklamasi Teluk Jakarta, dari 480 hektare menjadi 120 hektare.

Dalam pembahasan raperda RDTR dan Zonasi nanti, Riza bilang Pemprov DKI akan membawa argumentasi program Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI) dan Jakarta Urgent Flood Mitigation Project (JUFMP) yang telah berjalan sejak 2009. 

JEDI dan JUFMP adalah program pengerukan sungai dan waduk untuk menampung lebih banyak air ketika hujan, sehingga mengurangi dampak banjir. Kemudian, lumpur sisa pengerukan akan menjadi tanah reklamasi di Ancol.

"Perluasan Ancol Timur itu perluasan rekreasi Ancol dan Dufan. Jadi, reklamasi Ancol Timur sudah dilaksanakan sejak 2009, sedimentasi atau tanah tumpukan dari kerukan tanah untuk program penanganan banjir," jelas Riza. 

"Ada sedimentasi yang mulai menumpuk di 15 sungai dan 5 waduk besar di Jakarta yang sudaha da 20 hektare. Lalu, ada 30 waduk lagi perlu dikeruk dan dicarikan tempatnya. Ini menjadi pintu masuk supaya kita memperbaiki perda RDTR (dan zonasi)," tambahnya.

Seperti diketahui, Anies mengeluarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 237 Tahun 2020 pada 24 Februari 2020. Rinciannya, izin perluasan kawasan rekreasi seluas 35 hektare untuk rekreasi Dufan dan 120 hektare untuk perluasan lahan di kawasan Ancol Timur.

Nantinya, lahan reklamasi akan digunakan untuk membangun fasilitas rekreasi, di antaranya Bird Park, Masjid Apung, Symphony of The Sea, New Resto, dan pedestrian bundaran timur. Fasilitas ini akan mulai dibangun pada 2021.

Selain itu, akan dibangun juga Dufan Hotel, Symphony of The Sea tahap 3 (Bundaran Timur ke lumba-lumba) dan tahap 4 (lumba-lumba ke dunia fantasi) yang ditargetkan akan dibangun pada 2022. Kemudian, ada Ancol Residence mulai dibangun pada 2021 hingga 2024 dan Ocean Fantasy dibangun 2021 hingga 2023.

Penerbitan kepgub ini dipermasalahkan karena kekosongan landasan hukum yang sesuai, yakni pembaruan peraturan daerah mengenai rencana detail tata ruang (RDTR) dan zonasi.

Alih-alih merujuk perda, Anies malah memegang landasan hukum berupa Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 Tentang Pemprov DKI sebagai Ibu Kota NKRI, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. 

Pengamat tata kota, Yayat Supriyatna, mengatakan, sanksi pidana bisa menjerat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan jika tidak mencabut izin reklamasi Ancol. Sebab, landasan hukum atas izin reklamasi yang diberikan Anies kepada PT Impian Jaya Ancol tidak jelas.

Menurut dia, jika Anies bersikeras melakukan reklamasi, maka sanksi tersebut tercantum dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang. Harusnya izin dikeluarkan setelah ada perda mengenai reklamasi.

"Bagi pejabat yang mengizinkan penyeleggara kegiatan yang tidak ada di dalam rencana kegiatan tata ruang, itu kena hukuman. Hukumannya 5 tahun (penjara) dan ada denda," kata Yayat.

Lebih jelasnya, Pasal 73 ayat (1) menyatakan bahwa setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.

Kemudian, dalam Pasal 73 ayat (2), menyebut bahwa selain sanksi pidana, pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.