Anak Buah Anies Belum Bisa Jelaskan Payung Hukum Reklamasi Ancol
Rapat DPRD DKI Jakarta dengan Pemprov DKI dan PT Pembangunan Jaya Ancol terkait reklamasi Ancol (Foto: Diah Ayu wardani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi B DPRD DKI Jakarta memanggil Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan PT Pembangunan Jaya Ancol untuk menjelaskan payung hukum pemberian izin reklamasi Ancol seluas 155 hektare. 

Pemprov DKI yang diwakili Asisten Perekonomian DKI Sri Suharti belum bisa menjelaskan dasar hukum terkait izin yang dikeluarkan oleh Gubernur Anies Baswedan. Dia mengaku tidak begitu memahami soal permasalahan hukum terkait izin reklamasi Ancol. 

"Karena memang terkait dengan permasalahan yang mengawali pembahasan ini tidak (menyangkut, red) di perekonomian, jadi saya akan berkoordinasi dengan tim dari Pemprov DKI soal pembangunan," kata Suharti dalam rapat di Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Rabu, 8 Juli. 

Suharti meminta waktu kepada DPRD untuk mengumpulkan data terkait dengan pemberian izin itu. Untuk saat ini dia meminta penjelasan dari Pemprov DKI dalam bentuk tertulis.

"Nanti kami akan membuat secara tertulisnya. Tentu, Ancol akan kita libatkan dalam pembahasan tersebut, termasuk juga kronologis dari awal," kata Sri.

"Jadi, agar nanti jadi dasar dan hal lain yang juga lebih lengkap, agar jadi pegangan kami semua dan masukan dari bapak dan ibu (DPRD), kami akan jawab secara tertulis," tambah dia. 

Demikian juga Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk. (PJAA) Teuku Sahir Syahali juga belum bisa menjelaskan landasan hukum atas izin yang diterima.

"Nanti (dasar hukum, red) itu dikaji berikutnya," kata Sahir usai rapat dengan DPRD.

Harus ada Perda

Anggota Komisi B DPRD DKI Gilbert Simanjuntak mengatakan, tidak menolak atau menerima terkait reklamasi Ancol, selama itu semua sesuai aturan. Namun, izin dikeluarkan sebelum adanya perda. Padahal, payung hukum untuk mengeluarkan izin adalah perda.

Payung hukum berupa perda mengenai rencana detail tata ruang (RDTR) dan zonasi menjadi syarat mutlak dalam perizinan reklamasi Ancol yang tertuang dalam Kepgub 237/2020. Namun, saat ini perda tersebut belum diterbitkan dan masih dalam rencana pembahasan pada tahun ini. 

"Kami juga bagian dari pemda yang mau pemda ini bersih, tidak kemudian bermasalah di kemudian hari. Kalau ingin membangun, pondasinya itu perda RDTR dan zonasi yang sudah dicabut oleh gubernur," ucap Gilbert.

Menurut dia, kurang tepat Pemprov DKI mengeluarkan izin dengan landasan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 Tentang Pemprov DKI sebagai Ibu Kota NKRI, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Menurut dia, UU tersebut terkesan dipaksakan untuk menjadi landasan hukum yang melegalisasi perizinan reklamasi Ancol. 

"Pokoknya, selesaikan dulu perdanya sebagai dasar hukum yang bisa kita pegang. Sebab, ini bukan masalah yang sesederhana ingin membangun kawasan wisata yang menunjang perekonomian di DKI," ungkap Gilbert.

Sebagai informasi, perizinan perluasan kawasan Ancol ditetapkan dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 237 Tahun 2020 pada 24 Februari 2020. Rinciannya, izin perluasan kawasan rekreasi seluas 35 hektare untuk rekreasi Dunia Fantasi (Dufan) dan 120 hektare untuk perluasan lahan di kawasan Ancol Timur.