Penjualan Anak Kera Ekor Panjang Dikecam JAAN, BKSDA Bali Anggap Justru Lebih Aman Dipelihara Manusia
DOK Jakarta Animal Aid Network (JAAN)

Bagikan:

DENPASAR - Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali, R Agus Budi Santosa merespons kecaman aktivis Jakarta Animal Aid Network (JAAN) soal penjualan anak moyet ekor panjang atau macaca fascicularis di Pasar Burung Satria, Denpasar.

BKSDA mengatakan, spesies kera ekor panjang di Indonesia populasinya masih relatif banyak. Selain itu, kera itu termasuk mamalia yang sangat  mudah bertahan dan mudah menyesuaikan diri di lingkungan manusia.

"Tidak ada, saingan dengan spesies jenis kera lain dan tidak ada  hewan pemangsanya. Bayi kera abu-abu ini mungkin lebih aman dan sejahtera dipelihara manusia daripada kekurangan pakan dan dibunuh sesama kera di alam liar," kata Santosa dalam keterangan tertulisnya, Senin, 27 September.

"Selain itu, sangat jarang ditemukan penyiksaan terhadap satwa kera jenis ini di Bali. Karena, banyak yang percaya bahwa kera ini adalah titisan atau keturunan Dewa Hanoman yang patut dihormati," imbuhnya.

BKSDA Bali mengatakan satwa tersebut tidak dilindungi Undang-Undang dan cenderung jadi hama apabila populasinya tidak terkontrol. Sementara, dalam Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak bisa diterapkan untuk menghukum pelaku perdagangan satwa ini.

"Pelaku perdagangan satwa kera ini hanya bisa dikenakan pasal penyiksaan hewan sesuai pasal KUHP. Itupun, kalau jelas-jelas terbukti disiksa dan delik penyiksaannya terpenuhi," ujarnya.

Santosa mengatakan, perdagangan bayi kera jenis ini sulit dipantau karena ukuran satwa yang kecil, jinak dan mudah disembunyikan.

"Namun menurut aturan, pelaku perdagangan satwa kera ini tidak bisa dikenai hukuman berat karena satwa tidak dilindungi Undang-undang," ujarnya.

Selain itu, menurutnya razia satwa kera jenis itu amat tidak efisien serta tidak sebanding antara nilai konservasi dan bobot kesalahan dibanding dengan biaya operasional dan biaya perawatan apabila satwa disita.

"Peredarannya sebenarnya bisa diatur dengan Perda, karena merupakan tipiring dan sanksinya lebih condong ke sanksi administrasi. Untuk itu, perlu pendekatan dan dikomunikasikan dengan Pemda setempat," ujar Santosa.

Sebelumnya, Jakarta Animal Aid Network (JAAN) mengecam penjualan bayi moyet ekor panjang atau macaca fascicularis di Pasar Burung Satria, Denpasar, Bali.

Femke den Haas, salah satu pendiri JAAN menerangkan, di Bali masih ditemukan banyak penjual bayi-bayi monyet ekor panjang di Pasar Burung Satria, Denpasar.

"Setidaknya ada dua lapak penjual monyet ekor panjang di pasar itu. Monyet-monyet ini rata-rata berusia sangat muda," kata Femke dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 24 September.

Dari pengakuan seorang pedagang, Femke mengatakan monyet ini didatangkan hampir setiap bulan dari Sumatera. Tentu saja hal ini ilegal, karena memasukan hewan penular rabies (HPR) ke dalam Pulau Bali dilarang.

Hal itu mengacu pada Keputusan Menteri Pertanian No.1696/2008, tentang larangan memasukan anjing, kucing, kera dan sebangsanya ke Bali.

Selain itu, penjualan hewan primata di pasar burung berpotensi besar melanggar KUHP Pasal 302 tentang penyiksaan hewan, UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan serta PP Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veterniner dan Kesejahteraan Hewan.

"Kemudian cara memperoleh dan mengangkut monyet-monyet ini juga melanggar Peraturan Menteri Kehutanan No. P-63/Menhut-II/2013, tentang tata cara pengambilan spesimen tumbuhan dan satwa liar," imbuhnya.