Tak Kantongi Izin Produksi Hexymer, Trihex Dkk, Bareskrim Bongkar 2 Pabrik Obat Keras di Yogyakarta
Lokasi pembuatan obat ilegal (Foto: Humas Polri/Rizky Adytia/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Bareskrim Polri membongkar dua pabrik pembuatan obat di wilayah Yogyakarta. Pabrik ini memproduksi obat-obatan keras tanpa izin seperti Hexymer, Trihex, DMP dan double L.

"Mereka ini tak memiliki izin. Tapi mereka menjual obat keras dan terlarang," ujar Kabareskrim Polri, Komjen Agus Andrianto dalam keterangannya, Senin, 27 September.

Pembuatan obat-obatan harus diawasi secara penuh sebab efek yang disebabkan sangat berbahaya, mulai dari sulit berkonsentrasi hingga halusinasi.

"Obat terlarang ini bisa menimbulkan efek depresi, sulit berkonsentrasi, mudah marah, gangguan koordinasi seperti kesulitan berjalan atau berbicara, kejang-kejang, cemas atau halusinasi," kata Agus.

Terungkapnya praktik ilegal itu bermula dari penyelidikan adanya informasi peredaran obat di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, Bekasi Jawa Barat dan kawasan Jakarta Timur. Di mana, dalam penyelidikan itu menangkap sembilan orang tersangka.

"Penyidik melakukan pengembangan dari pengembangan para tersangka mengaku obat keras tersebut diproduksi di wilayah DI Yogyakarta. Berbekal informasi itu, penyidik Bareskrim pun langsung berkoordinasi dengan Polda DI Yogyakarta untuk melakukan pengembangan," ungkap Agus.

Menambahkan, Direkur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Brigjen Krisno Halomoan Siregar menyebut, pabrik pertama berada di Jalan PGRI I Sonosweu, Nomor 158, Ngestiharjo, Kasihan Bantu, Yogyakarta. Pengungkapan berlangsung pada 21 September 2021.

"Di pabrik itu, menangkap tersangka Wisnu Zulan. Dari penggeledahan yang dilakukan, polisi menemukan sejumlah obat terlarang. Diantaranya, Hexymer, Trihex, DMP, Doubel L, IGRAPHAN 200 Mg siap edar," ungkap Krisno.

"Penyidik juga menyita mesin serta bahan baku yang digunakan untuk memproduksi obat terlarang itu," sambungnya.

Tak hanya itu, pengembangan kembali dilakukan. Diketahui pabrik itu dipimpin oleh Leonardus Susanto Kincoro alias Daud. Sehingga, langsung dilakukan penangkapan di Perum Griya Taman Mas, Karang Jati, Dusun Jetis, Desa Taman Tirto, Bantul, Yogyakarta.

"Dari pemeriksaan terhadap Daud diketahui masih ada satu pabrik lagi di sebuah gudang yang terletak di Jalan Siliwangi, Ring Road Barat, Pelem Gurih, Bayuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta," kata dia.

Sehingga, penyidik langsung mendatangi lokasi dan menggerebek pabrik itu pada keesokan harinya. Dari penggerebekan ditemukan berbagai jenis obat keras, semisal Hexymer, Thirex, DMP, Doubel L.

“Daud menyebut pemilik semua pabrik itu adalah Joko Slamet Riyadi Widodo yang adalah abang kandungnya," ungkap Krisno.

Di sisi lain, dari hasil pengembangan polisi juga menangkap seseorang bernama Sri Astuti. Dia merupakan pemasok bahan baku pembuatan obat keras tersebut.

"Para tersangka mengaku, pabrik obat keras illegal itu sudah beroperasi selama dua tahun. Dalam sehari, mereka memproduksi dua juta butir obat keras," tandas Krisno.

Dari pengungkapan jaringan peredaran polisi menyita sejumlah barang bukti. Rinciannya, sat unit truk colt diesel dengan nomor polisi AB 8608 IS. Lalu, 30.345.000 butir obat keras yang dikemas menjadi 1.200 colli paket dus.

Kemudian, sembilan mesin cetak pil Hexymer, DMP dan Doubel L, lima buah mesin oven obat, dua buah mesin pewarna obat, satu buah mesin cording/printing untuk pencetak, 300 sak lactose dengan berat total sekitar 800 Kg. Selanjutnya, 100 Kg Adonan Bahan pembuatan obat keras dan 500 Kardus warna coklat. Terakhir, 500 botol kosong tempat penyimpanan obat keras.

Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 60 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tas perubahan Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan subside Pasal 196 dan/atau

Pasal 198 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Juncto Pasal 55 KUHP.  Dengan ancaman pidana selama 15 tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar subside 10 tahun penjara.  

Para tersangka juga dijerat Pasal 60 UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp200 juta.