Pelaku Penyerangan Terhadap Dirinya Divonis 2 Tahun, Novel: Saya Tidak Terkejut dan Ini Sangat Ironis
Penyidik senior KPK Novel Baswedan (VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan tidak kaget dengan vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap dua pelaku penyerangan terhadap dirinya.

"Saya tidak terkejut dan hal ini tentunya sangat ironis karena penyimpangan yang begitu jauh dari fakta sebenarnya akhirnya mendapat justifikasi dari putusan hakim," kata Novel dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Kamis, 16 Juli.

Sejak proses pembacaan tuntutan, dia sama sekali tidak tertarik untuk mengikuti proses persidangan dua penyerangnya yaitu Ronny Bugis dan Rahmat Kadir. Sebab Novel menilai persidangan tersebut banyak kejanggalan yang sengaja didesain pihak tertentu.

"Sehingga tidak ada harapan yang saya gantungkan dalam proses persidangan tersebut," tegasnya.

"Saya meyakini bahwa persidangan ini seperti sudah dipersiapkap untuk gagal atau sidang sandiwara. Bahkan sejak awal proses, saya sudah mendapat informasi dari banyak sumber yang mengatakan nantinya akan divonis tidak lebih dari dua tahun dan semua sekarang sudah terkonfirmasi," imbuhnya.

Penyidik senior ini ogah mengatakan vonis terhadap Ronny dan Rahmat sebagai kemenangan penjahat dan koruptor. Namun dia khawatir, persidangan ini adalah cerminan yang nyata bahwa negara tidak berpihak kepada upaya pemberantasan korupsi.

Dia juga menilai, upaya untuk mendesak pengungkapan serangan maupun teror terhadap insan KPK lainnya akan makin sulit dilakukan. "Begitu juga orang yang diserang saat berjuang untuk memberantas korupsi. Karena satu-satunya kasus yang dijalan di proses peradilan yaitu kasus ini justru ditutupi untuk membuka aktor lainnya dan pelaku di atasnya," ujarnya.

Sebelumnya, terdakwa kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan, Rahmat Kadir Mahulette divonis dua tahun penjara. 

"Mengadili terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan mengakibatkan luka berat, selama dua tahun penjara. Memerintahkan terdakwa agar tetap ditahan," kata Ketua Majelis Hakim Djumyanto di Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang dilihat lewat siaran langsung, Kamis, 16 Juli.

Sedangkan, Ronny Bugis divonis divonis hakim dengan hukum 1,5 tahun penjara. "Mengadili terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan mengakibatkan luka berat, selama satu  tahun dan enam penjara. Memerintahkan terdakwa agar tetap ditahan," ungkapnya.

Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis terbukti bersalah karena melanggar Pasal 353 Ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu.

Putusan ini dibacakan Djumyanto di depan jaksa penuntut umum (JPU) dan penasihat hukum kedua terdakwa. Sementara, terdakwa Rahmat dan Ronny tak dihadirkan di ruang sidang, melainkan mendengar putusan lewat video konferensi. 

Setelah putusan dibacakan, kedua terdakwa yang mendengar putusan hakim dari Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, meyatakan dirinya menerima vonis tersebut. "Terima kasih Yang Mulia. Saya Menerima putusannya," ucap Rahmat.

Melihat lagi kasus penyerangan Novel Baswedan

Kasus ini bermula saat penyidik KPK Novel Baswedan pulang dari Masjid Al Ihsan, Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Ketika berjalan kaki ke rumahnya dia disiram air keras oleh dua orang yang menaiki sepeda motor pada 11 April 2017. 

Akibat kejadian tersebut, mata penyidik senior yang ikut mengusut kasus dugaan mega korupsi e-KTP itu mengalami luka bakar dan dia akhirnya menjalani perawatan di Singapura.

Setelah mendapatkan perawatan, mata kiri Novel tidak dapat diselamatkan dan mata kanannya kehilangan kemampuan melihat sebanyak 50 persen.

Atas kejadian penyerangan itu, Presiden Joko Widodo kemudian didesak oleh berbagai pihak termasuk pegiat antikorupsi untuk membentuk tim independen untuk mengungkap kasus tersebut. Namun, pemerintah saat itu bergeming.

Kemudian pada 24 November 2017, Kapolda Metro Jaya Irjen Idham Azis merilis sketsa dua pelaku penyerangan Novel di Gedung Merah Putih KPK. Sketsa ini digambar berdasarkan hasil analisis rekaman CCTV dan keterangan para saksi. 

Usai menjalani perawatan di Singapura, 27 Juli 2018, Novel Baswedan kembali bekerja di KPK dan aktif kembali sebagai penyidik di lembaga antirasuah tersebut.

Berlanjut pada tahun 2019, tim gabungan pencari fakta (TGPF) penyerangan terhadap Novel Baswedan dibentuk setelah ada rekomendasi dari Komnas HAM. Tim ini terdiri dari 65 orang yang berasal dari unsur seperti tim pakar, internal KPK, kepolisian, dan pegiat HAM seperti Ketua Setara Institute Hendardi, mantan Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti, serta eks Komisioner Komnas HAM periode 2007-2012, Ifdhal kasim.

Mereka bekerja berdasarkan Surat Tugas Nomor Sgas/3/I/HUK.6.6/2019 yang ditandatangani Tito pada 8 Januari 2019. Surat tugas ini berlaku enam bulan terhitung mulai 8 Januari hingga 7 Juli 2019. Setelah rampung masa tugasnya, ada tiga temuan yang mereka dapatkan.

Pertama, Novel diserang karena pekerjaannya sebagai penyidik KPK. Kedua, Novel diduga menggunakan kekuasaannya secara berlebih sehingga membuat sejumlah pihak sakit hati. Terakhir, penyerangan ini diduga berkaitan dengan enam kasus besar yang ditangani Novel. 

Selanjutnya masih di tahun yang sama, Polri kemudian membentuk tim teknis untuk menindaklanjuti temuan tersebut. Namun hasilnya masih nihil.

Kemudian secara mengejutkan pada 27 Desember 2019, Polri melakukan penangkapan terhadap dua tersangka Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis di Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Penangkapan tersebut disebut Polri setelah penyidikan panjang dan pembentukan tim gabungan serta teknis.

Pada 19 Maret, kedua terdakwa disidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Rahmat dan Ronny mendapat pembelaan dari tim Divisi Hukum Polri untuk menghadapi proses persidangan tersebut.

Dua polisi aktif ini didakwa melakukan penganiayaan berat dan terencana terhadap Novel dengan hukuman maksimal 12 tahun. Disebutkan motif keduanya melakukan aksinya karena rasa bencinya terhadap penyidik KPK tersebut karena mengkhianati Korps Bhayangkara. 

Dalam dakwannya, keduanya dikenakan Pasal 355 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Subsider Pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Lebih Subsider Pasal 351 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Lebih lanjut, setelah menjalani persidangan dengan memanggil sejumlah saksi, jaksa penuntut kemudian mengajukan tuntutan setahun penjara terhadap keduanya. Pasal primer yaitu 55 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dianggap jaksa tidak terbukti karena berdasarkan fakta persidangan kedua terdakwa tidak sengaja menyiram air keras ke kepala Novel.

Kedua tersangka kemudian dituntut atas Pasal subsidair Pasal 353 Ayat (2) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu.