Ungkapan Novel Soal Kejanggalan Selama Proses Persidangan
Penyidik KPK Novel Baswedan (Rizky Adytia Pramana/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan megungkapkan, ada kejanggalan selama proses persidangan kasus penyiraman air keras yang menimpa dirinya. Hal ini karena tidak semua saksi kunci dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Alhasil, kata Novel, tuntutan Jaksa terhadap dua orang terdakwa cukup ringan. Yakni tuntutan satu tahun penjara atas perbuatan yang diduga dilakukan Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis.

"Proses persidangannya, saya semakin banyak melihat kejanggalan-kejanggalan di antaranya adalah saksi-saksi kunci yang mengetahui peristiwa saat kejadian dan sebelum kejadian tidak diperiksa. Hanya sebagian saja saksi saat kejadian dan setelah kejadian yang diperiksa," kata Novel pada diskusi bertema 'Menakar Tuntutan Jaksa Dalam Kasus Novel Baswedan' melalui Youtube, Senin, 15 Juni.

Awalnya, dia tetap berfikir positif terhadap jalannya persidangan atas kasus ini. Hingga, pada kesempatan selanjutnya, dia memberikan keterangan terkait perkara ini dalam persidangan.

Akhirnya, apa yang dirasakan disampaikan dalam persidangan. Bukan hanya saksi-saksi yang belum dihadirkan, Novel juga menyebut ada bukti lain yang tidak masuk dalam berkas perkara.

Sehingga, Novel meminta kepada JPU untuk memeriksa saksi dan bukti tersebut. Namun, hingga proses persidangan tuntutan, pernyataan dan permintaan untuk memeriksa saksi dan bukti tersebut tak diakomodir.

"Ini membuat saya curiga. Kita berpikir apakah memang jaksa penuntutnya tak paham atau terlewat atau mungkin justru disengaja?" kata Novel.

Kemudian, Novel juga pernah berdiskusi dengan penyidik mengenai pasal yang disangkakan terhadap dua terdakwa. Awalnya, penyidik menggunakan Pasal 170 KUHP tentang kekerasan subsider pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.

Menurutnya, penggunaan Pasal tersebut tidak tepat. Sebab, pada perkara ini hanya satu orang yang melakukan penyiraman. Jika merujuk definisi Pasal 170 KUHP, aturan itu lebih kepada pengeroyokan yang dilakukan bersama-sama.Sehingga, jika tetap menggunakan Pasal tersebut, kedua terdakwa berpotensi lolos dari jerat hukum.

Untuk itu, Novel pun sempat memberi masukan kepada penyidik untuk mengganti pasal yang akan disangkakan dengan pasal 340 KUHP juncto pasal 53 tentang percobaan pembunuhan berencana itu sebagai pasal primer. Kemudian, untuk pasal subsider pasal 355 ayat 2 juncto 356 tentang penganiayaan berat.

Dengan menggunakan Pasal tersebut, perbuatan para tedakwa yang dikatakan sebagai tindak pidana penganiayaan akan masuk dalam kategori berat. Sebab, penganiayaan itu sudah direncanakan dan mengakibatkan luka berat.

"Kalau itu disebut sebagai penganiayaan, itu penganiayaan yang paling lengkap yaitu penganiayaan yang terencana penganiayaan yang berat penganiayaan yang akibatnya luka berat dan penganiayaan dengan pemberatan karena saya sebagai aparatur yang bekerja dalam hal ini aparatur penegak hukum di KPK," kata Novel.

Adapun Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette dituntut menggunakan dakwaan subsider, yaitu Pasal 353 ayat (2) KUHP Juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP tenteng penganiayaan dengan rencana yang ancaman pidana maksimalnya tujuh tahun. Jaksa tidak menggunakan dakwaan primer, yaitu Pasal 355 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan berat dengan rencana yang ancaman hukumannya 12 tahun, karena menganggap itu tidak terbukti.

Perbandingan kasus serupa

Sementara Kuasa Hukum Novel Baswedan, Asfinawati menyebut, tuntutan terhadap kedua terdakwa sangat ringan jika dibandingkan dengan tuntutan pada kasus serupa.

Merujuk pada data yang dimilikinya, kasus serupa justru tuntutannya lebih dari satu tahun. Dicontohkan, kasus peyiraman yang terjadi di Mojokerto pada tahun 2017, terdakwa Lamaji dituntut 15 tahun penjara. Hingga akhirnya, divonis selama 12 tahun penjara. 

Kemudian di tahun 2020 seorang bernama Herianto melakukan penyiraman air keras kepada istrinya meninggal dituntut 20 tahun penjara.

"Kasus ini menunjukkan ada disparitas yang luar biasa. Tapi bukan cuma itu tidak lazim kalau tuntutan 10 tahun 12 tahun itu hanya satu atau dua maka mungkin masih ada alibi yang bisa dikeluarkan oleh Kejaksaan tapi karena ini ada banyak maka perlu dipertanyakan lagi kita," kata Asfinawati.

Selain itu, ketika bicara soal tuntuan, kata Asfinawati, haruslah merujuk pada kerangka kejahatan. Artinya, melihat apakah tindakan para terdakwa merupakan kejahatan yang teroganisir atau tidak.

Dari kacamatanya, kejahatan kedua terdakwa sudah memenuhi unsur terencana atau teroganisir. Sebab, jika melihat jauh ke belakangan sebelum insiden penyerangan terjadi, terdakwa sudah mengintai dan menyiapkan semua yang dibutuhkan untuk melakukan penyiraman.

"Dalam persiapan ini, dalam kasus Novel ada perencanaan, ada pencarian tim dalam investigasi kami, ada pengintaian dari banyak saksi di sekitar rumah Novel dan mencari alat-alatnya," ujar Asfinawati.