Bagikan:

JAKARTA - Perdebatan panas terjadi antara Wasekjen Persaudaraan Alumni (PA) 212 Novel Bamukmin dengan kuasa hukum Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M. Yusmin Ohorella, Henry Yosodiningrat saat tampil di kanal Youtube @Karni Ilyas Club, Kamis, 31 Maret.

Keduanya tampil terkait kontroversi vonis lepas Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M. Yusmin Ohorella di kasus unlawfull killing laskar FPI, KM 50 Tol Jakarta-Cikampek.

Dalam perdebatan itu Novel sampai mengeluarkan bahasa ke Henry Yosodiningrat soal agama dan akhlak. "Anda punya akhlak enggak? Anda beragama?," ucap Novel dengan suara tinggi dan tangan yang menunjuk ke arah Henry.

"Ehhh Kau!," balas Henry Yosodiningrat dengan nada tinggi.

"Apa?!" balas Novel lantang.

Debat panas keduanya ini bermula saat Karni Ilyas bertanya ke Henry Yosodiningrat soal vonis lepas kedua terdakwa. Karni Ilyas mengutip pandangan hakim yang menyebutkan kalau alasan pemaaf menjadi dasar dari vonis lepas sebagaimana Pasal 49 KUHP. 

Karni menyebut putusan ini menimbulkan kontroversi ke tengah publik. Hendry kemudian diberi kesempatan untuk menjelaskan secara detail kenapa putusan lepas dijatuhkan. 

Hendry menyebut putusan yang diambil hakim Pengadilan negeri Jakarta Selatan berdasarkan fakta-fakta persidangan yang ada. Uraian ringkasnya, bahwa laskar FPI itu menghalanng-halangi kendaraan anggota polisi, membacok mobil, menembak dengan senjata laras pendek dan memecahkan kaca mobil.

"Artinya anggota laskar FPI itu yang menyerang. Dan itu terbukti di persidangan. Kemudian juga diuraikan oleh jaksa bahwa anggota polisi yang bernama Fikri dicekik, ini jaksa sendiri. Dipukul, dirampas senjatanya. Artinya, berdasarkan fakta-fakta di persidangan memang terbukti mereka melakukan perbuatan menghilangkan nyawa. Tapi sesuai dengan aturan hukum pembelaan terpaksa terhadap serangan yang dekat dan mengancam keselamatan dalam hal ini kalau senjata ini tidak dipertahankan dan kalau tidak ditembak maka orang ini akan mati itu tidak boleh dipidana," tegas Henry. 

Dengan deretan fakta yang disampaikan berdasarkan keterangan saksi, saksi ahli, hasil visum, barang bukti dan sebaginya, Henry justru mempertanyakan pihak-pihak yang selama ini tidak sejalan atau bertolak belakang dengan putusan hakim.

"Jadi kalau tidak pernah membaca surat dakwaan, tidak pernah hadir di persidangan, tidak pernah membaca berita acara persidangan yang berupa pokok-pokok keterangan saksi ahli dan tidak membaca pembelaan saya berarti kalian ngomongnya akan ngawur, akan menyebarkan kebohongan," tegas dia. 

Dari rangkaian fakta yang disampaikan Henry, Novel membantahnya. Sebagai orang yang pernah berkecimpung dalam media center usai kasus penembakan laskar FPI berlangsung, Novel mengklaim memiliki data pembanding yang dihimpun dari media sosial. Sayangnya, Novel tidak menjelaskan secara rinci data mana yang dimaksud. 

Dirinya hanya membantah kalau laskar FPI memiliki senjata api. Argumentasi Novel begini, "Saya mantan ketua media center dan saya menghimpun data yang ada berdasarkan medsos berdasarkan media-media yang lain. Itu kita melihat sangat banyak kejanggalan demi kejanggalan dan lucu boleh dikatakan banyak yang tidak sesuai dengan fakta. Maka hak kami untuk menyampaikan. Artinya mereka yang tidak setuju (Vonis lepas dua anggota Polri) didukung oleh logika yang benar, justru mereka yang benar karena lebih banyak. Enggak mungkin kesesatan yaitu lebih banyak dari yang benar gitu,"

"Kami taat dengan konstitusi karena dalam laskar FPI sendiri dan saya pernah menjadi laskar, itu tidak diperbolehkan membawa senjata," tegas Novel. 

Pada poin laskar FPI membawa senjata inilah perdebatan panas itu terjadi. Henry dengan nada tegas membantah Novel dan menyebutkan kalau laskar FPI membawa senjata adalah fakta hukum. 

Mendengar pendapatnya langsung disanggah, Novel balik marah. Dia bilang ke Henry untuk mendengarkannya terlebih dahulu.  

"Saya lagi ngomong, sebentar. Anda ngomong Saya gak potong" kata Novel. 

"Ya potong-potong saja enggak apa-apa. Dari pada ngawur," timpal Henry.

"Anda dari awal tidak sesuai fakta, dari awal!" tegas Henry.

"Lho Bang Karni bilang lebih banyak yang tidak setuju dengan putusan itu. Dia orang media, saya orang media jadi lebih tahu, kita menghimpun data," balas Novel. 

"Ini ngaco, enggak bakalan ketemu," ketus Henry. 

"Ya enggak bakalan ketemu," timpal Novel. 

"Gak usah ngomong gak usah," balas Henry lagi. 

"Ya Anda juga ngapain hadir di sini. Kalau tahu enggak bakalan ketemu kenapa hadir?" 

"Ahhhh kau," balas Henry dengan telunjuk mengarah ke Novel. 

"Kita ini sama-sama diundang artinya sudah ada fakta. Anda punya akhlak enggak? Anda beragama?" balik Novel bertanya ke Henry.  

"Ehh kau tanya beragama!" suara Henry meninggi saat mengucapkan ini.

"Apa? Kita ini berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan, keadilan.." balas Novel. 

Karni kemudian berusaha menengah debat panas kedua narasumber yang hadir.

"Enggak usah ceramin saya soal itu. Sudalah enggak usah gaya-gayaan sama saya," ucap Henry dengan nada masih tinggi. 

"Anda hati-hati omongan anda ini menuduh, gaya-gayaan apa? Apa?" balas Novel dengan wajah mengarah ke Henry. 

Novel kemudian melanjutkan penjelasannya! Novel menyebutkan, perkara demi perkara yang muncul berasal dari kelompok penista agama.