Novel Baswedan: Sidang Serangan Terhadap Saya Hanya Formalitas
Dua pelaku penyiraman Novel Baswedan (Rizky Adytia Pramana/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Terdakwa Ronny Bugis dalam kasus penyerangan air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan dituntut satu tahun penjara. Jaksa menilai terdakwa, Ronny terbukti melakukan penganiayaan terhadap Novel.

Dalam sidang tuntutan, jaksa meyakini Ronny bersalah melanggar Pasal 353 ayat 2 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

Jaksa menilai ada beberapa hal yang memberatkan Ronny. Dia dinilai mencederai institusi Polri. Sedangkan, hal yang meringankan dia dianggap berlaku sopan selama persidangan dan mengabdi di institusi Polri.

Dalam pertimbangannya, jaksa mengatakan, terdakwa Ronny dan Rahmat terbukti melakukan penganiayaan berat dengan terencana. Karena sebelum melakukan aksinya, kedua terdakwa terbukti melakukan pemantauan di rumah Novel.

"Bahwa benar saksi (Rahmat) dan terdakwa di pinggir kali 10 hingga 15 menit sambil memandang rumah Novel dan saksi melihat Novel berjalan ke masjid dan tak lama ada ibu-ibu berjalan keluar gang," kata jaksa saat membacakan surat tuntutan di PN Jakarta Utara, Kamis, 11 Juni.

"Kemudian saksi Rahmat Kadir menjalankan motornya dan menghampiri Novel ketika itu saksi berjalan dan menyiramkan cairan asam sulfat ke badan korban, dan korban terjatuh," imbuhnya.

Melalui akun Twitternya, Novel Baswedan menanggapi sidang ini. Dia menilai persidangan kasus penyiraman terhadap dirinya hanyalah sebuah formalitas.

"Hari ini kita lihat, apa yang saya katakan bahwa sidang serangan terhadap saya hanya formalitas. Membuktikan presepsi yang ingin dibentuk dan pelaku dihukum ringan," tulis Novel dalam Twitternya @nazaqistsha.

Sementara, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai, dugaan sandiwara hukum dalam kasus ini ternyata benar terjadi. Dia menilai tuntutan ini bukan hanya sangat rendah tapi memalukan dan tak berpihak kepada korban.

"Terlebih ini adalah serangan brutal kepada penyidik KPK yang telah terlibat dalam upaya pemberantasan korupsi. Alih-alih dapat mengungkapkan fakta sebenarnya, justru penuntutan tidak bisa lepas dari kepentingan elite mafia korupsi dan kekerasan," kata Kurnia dalam keterangan tertulisnya.

Kurnia menilai, banyak kejanggalan yang terlihat dalam persidangan ini. Ada beberapa catatan kejanggalan yang diberikannya. Pertama, dakwaan dalam kasus ini seakan berupaya menyangkal kejadian yang ada.

"Jaksa hanya mendakwa terdakwa dengan Pasal 351 dan Pasal 355 KUHP terkait dengan penganiayaan. Padahal kejadian yang menimpa Novel dapat berpotensi untuk menimbulkan akibat buruk, yakni meninggal dunia," ungkapnya.

"Sehingga Jaksa harus mendakwa dengan menggunakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana," imbuh pegiat antikorupsi ini.

Kedua, Kurnia menganggap saksi yang dihadirkan tidak penting. Menurutnya, setidaknya ada tiga orang saksi yang harusnya bisa dihadirkan di persidangan untuk menjelaskan perkara tersebut. Tiga saksi ini, sambungnya, juga telah diperiksa oleh penyidik Polri, Komnas HAM, dan Tim Pencari Fakta yang dibentuk Polri.

Namun, kata dia, jaksa seakan menganggap kesaksian ketiganya ini tak penting sehingga tidak dihadirkan dalam persidangan. Jaksa, tambah dia, terkesan ingin menutupi kasus ini dari fakta sebenarnya.

Selanjutnya, Kurnia menilai, jaksa penuntut juga terkesan membela para terdakwa. Hal ini terlihat dari tuntutan yang diberikan kepada Ronny Bugis.

Selain itu, dalam sidang yang menghadirkan Novel Baswedan, jaksa juga memberikan pertanyaan yang menyudutkannya. Padahal, jaksa penutut harusnya melihat kejadian ini secara utuh bukan justru membuat perkara ini makin keruh.

Terakhir, Kurnia mengatakan sidang ini bukan hanya untuk keadilan. Proses hukum yang berjalan selama ini, kata dia, hanya digunakan untuk melindungi pelaku dengan memberikan hukuman seadanya sehingga aktor intelektualnya bisa ditutupi jejaknya.

Dia menilai, persidangan ini juga mengabaikan fakta perencanaan pembunuhan yang sistematis dan terlihat adanya upaya pemberian bantuan hukum dari Polri kepada pelaku.

"Padahal jelas  menurut Pasal 13 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 menyatakan bahwa pendampingan hukum baru dapat dilakukan bilamana tindakan yang dituduhkan berkaitan dengan kepentingan tugas," tegasnya.

Sehingga, Kurnia yang bergabung dalam tim advokasi Novel ini berharap, Majelis Hakim tidak terlarut dalam sandiwara hukum ini dan harus melihat dari fakta yang sebenarnya.

Dia juga meminta Presiden Joko Widodo menaruh perhatian lebih dalam kasus ini. "Tim advokasi Novel Baswedan menuntut Presiden Jokowi membuka tabir sandiwara hukum ini dengan membentuk Tim Pencari Fakta Independen," ungkapnya.

Selain itu, Kurnia juga meminta Komisi Kejaksaan bisa menindaklanjuti catatan dari tim advokasi Novel Baswedan.

"Komisi Kejaksaan mesti menindaklanjuti temuan ini dengan memeriksa Jaksa Penuntut Umum dalam perkara penyerangan terhadap Novel Baswedan," pungkasnya.